TV & Movies
Review Film Netflix The Shadow Strays, sat-set crat-crot
www.gwigwi.com – Dikisahkan semesta yang diciptakan Timo Tjahjanto terdapat sebuah organisasi pembunuh bayaran bernama “the shadow” seorang agen yang memiliki codename “13” (Aurora Ribero) gagal menyelesaikan misi di Jepang. Ia pun terpaksa mundur dan ditempatkan di Jakarta hingga misi berikutnya.
Di balik reputasinya sebagai seorang pembunuh berdarah dingin dan tak kenal ampun, sisi kemanusiaan Agen 13 terketuk setelah ia bertemu Monji (Ali Fikry) seorang anak kecil yang baru saja kehilangan ibunya karena serangan brutal sindikat kriminal yang dikendalikan oleh tokoh politik.
Lantas, apakah agen 13 akan mengambil langkah yang nekad demi membalaskan dendam Monji?
Menurut gue, kali ini sutradara Timo Tjahjanto beneran mengerjakan film ini dengan sepenuh hati.
Tidak cuman menyajikan aksi bertubi-tubi namun juga punya cerita yang solid dan sangat relate dengan kehidupan nyata di negara kita tercinta ini. Well, such a good way dan gue rasa ini level up untuk genre action di perfilman Indonesia.
Dari sisi ansamble cast juga patut diacungi jempol seperti Aurora Ribero, Hana Malasan, Agra Piliang, Adipati Dolken, Andri Mashadi, Taskya Namya, Ali Fikry, Kristo Imanuel, Arswendy Bening Swara dan masih banyak lagi.
Mereka berhasil melakukan performa yang bikin kita gregetan dan berkata “gila” di setiap adegan. FYI ini adalah debut film action buat Aurora Ribero dimana ia mempersiapkan diri dengan berlatih keras yang dimana berbagai adegan berbahaya ia lakukan sendiri di film ini.
Sebuah sajian action, sangat bergantung pada sinematografi yang pas untuk bisa menyampaikan sensasi kepada audiens.
Tujuannya memang ingin membuay adrenalin penonton terpacu, berbagai adegan brutal diambil dengan menggunakan teknik close-up, bahkan dalam beberapa adegan, serta penggunaan slow motion. Contohnya seperti cipratan darah, proses orang terpenggal, tusukan, dan beberapa tembakan peluru disunting dengan efek slow motion sehingga terasa bikin ngilu.
Berbagai aksi cadas yang ada di dalam film sepertinya kurang lengkap kalau enggak didukung sama suara di dalam film dan scoring yang bagus.
Di sepanjang film berbagai aksi-aksi brutal didukung dengan scoring yang enggak kalah menegangkan. Setiap momen selalu ditemani dengan efek suara yang dahsyat, membuat kita rasanya ingin ikut beraksi bareng agen 13.
Oh, ya, selain efek suara yang mendukung adegan-adegan perkelahian, ada satu suara yang cukup memorable di film ini: suara siulan.
Suara siulan dari 13 ini menjadi “warning” bagi siapa saja yang akan menjadi korban dari 13 berikutnya.
Suara siulan legendaris ini bahkan sempat dinarasikan oleh salah satu anak buah di keluarga mafia, yang awalnya seolah seperti sebuah lelucon, tetapi justru malah jadi gambaran tentang apa yang mau disampaikan di dalam film ini.
Akhir kata, film ini gak hanya menawarkan aksi sat-set crat-crot, tetapi juga didasarkan pada penokohan yang cukup kuat bagi setiap karakternya dan diperkuat dengan kisah yang grounded dan membuat kita percaya bahwa inilah gambaran yang memang beneran terjadi.
TV & Movies
Review FIlm WEREWOLVES, All Bark No Bite
www.gwigwi.com – Wes (Frank Grillo) harus bertahan hidup dari serangan para manusia yang bermutasi menjadi werewolves akibat super moon, untuk kembali pada keluarganya.
Sedatar dan se in the face itulah WEREWOLVES. Bila berharap akan ada barang sedikit variasi atau kedalaman atau dimensi, saaangat minim ada.
Film berfokus pada aksi bertahan hidup ala serial gim RESIDENT EVIL, lengkap dengan set piece kota kacau berantakan ala Raccoon City. Memang ada beberapa ketagangan yang dimainkan tapi selain satu dua adegan mengejutkan, WEREWOLVES tak banyak, atau nihil, inovasi.
Para pemain, khususnya Katrina Law sebagai Dr. Chen, berperan dengan sepenuhnya. Justru Frank Grillo sendiri yang terlihat kurang maksimal. Barangkali karena karakternya sendiri yang datar maka si aktor yang tengah naik daun (bisa jadi makin nanjak setelah CREATURE COMMANDO nya DC rilis) ini memang tak diberi banyak hal untuk diaktingkan. Hanya beraksi saja kebanyakan.
Manusia serigalanya sendiri juga sayangnya kurang memiliki keunikan yang bisa menonjol dibanding werewolves di media lain. Memakai efek praktikal untuk aksinya, si manusia serigala justru sering terlihat kurang meyakinkan. Bukannya seram malah sebaliknya.
WEREWOLVES tampaknya butuh sentuhan spesial yang biasanya dimiliki sutradara seperti James Gunn atau Michael Bay. That little bit of touch to make em bite harder.
TV & Movies
Review Film MOANA 2, Sekuel Sekedar Mengambang
www.gwigwi.com – Sejalan dengan inisiatif baru Disney untuk berfokus pada franchise yang sudah ada, maka muncullah MOANA 2. Apakah bisa menciptakan ombak sebesar dulu atau malah yang tak perlu?
Moana (Auli’i Cravalho) bertambah dewasa dan tidak berhenti berlayar untuk menemukan suku lain di horizon. Akhirnya dia mengetahui sebuah entitas jahat bernama Nalo mengutuk pulau Motefatu yang dahulu pernah menyatukan berbagai manusia di lautan.
Maka berangkatlah Moana ke Motefatu disertai berbagai karakter baru untuk membantunya. Sementara Maui (Dwayne Johnson) sedang terjebak di suatu tempat…
Seperti halnya supporting karakter baru/teman-teman Moana yang tidak jelas perkembangan karakternya, MOANA 2 terkesan tak mempunyai alasan kuat untuk ada ataupun urgensi sangat mendesak bagi Moana harus bertualang.
Motivasi petualangannya tidak sekuat dulu yang mendobrak kutukan generasional. Maka jadinya beragam elemen lain pun terdampak; musik yang tidak terlalu catchy, banyak karakter baru kurang menarik, emosi cerita yang sekenanya dan rasanya lagu-lagu yang tak perlu yang seakan demi mengisi kuota saja karena ini animasi musikal.
Aneh rasanya saat nyanyian di film live action WICKED bisa lebih emosional dan WONKA bisa lebih memberi nuansa magis sedari pada animasi dengan segala triknya.
Meski demikian para penyumbang suara baik Auli’i, The Rock dan lainnya memberi 100% hasrat mereka dan memang mengena.
MOANA 2 mungkin pertanda yang kurang baik bagi Disney akan inisiatif barunya walau INSIDE OUT 2 sudah memulai lebih baik. Barangkali para pemangku rumah tikus bisa mendapat inspirasi dari James Gunn, Co-CEO DC STUDIOS, yang berkata baru akan green light proyek bila puas dengan naskahnya.
ELIO terlihat menarik sih. Semoga pesan persatuan MOANA 2 bisa mengena para pembuat kekacuan di Palestina dan Lebanon.
TV & Movies
Review Film We Live in Time, setiap menit yang penuh arti
www.gwigwi.com – Tobias (Andrew Garfield) seorang pegawai IT, sedang apes soal percintaan setelah ia diceraikan oleh istrinya yang memilih mengejar kariernya di Swedia dan mengabaikan mimpi mereka.
Saat momen akan menandatangani surat cerai, ternyata pulpennya macet membuatnya harus keluar kamar hotel dan membeli pulpen baru. Di perjalanan kembali ia justru malah ditabrak mobil yang dikemudikan oleh Almut (Florence Pugh) yang kemudian membawanya ke rumah sakit.
Seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta pun muncul diantara mereka berdua. Namun nasib lagi-lagi tak berpihak pada Tobias, usut punya usut Almut ogah punya anak dan berkeluarga seperti yang didambakan olehnya.
Tobias pun harus merelakan mimpinya demi hidup bersama cinta sejatinya, Almut pun mulai tersentuh dan berpikir untuk menjadi seorang ibu, namun hubungan asmara mereka kembali diuji di mana ia justru didiagnosa mengidap kanker ovarium stadium 3.
Film yang disutradarai oleh John Crowley mungkin sering kita lihat seperti film-film dengan genre yang sejenis. Namun penyajian dengan alur maju-mundurnya yang membuat film ini berbeda.
Dengan alur yang berjalan dengan acakadut but in a good way, sehingga menjadi sebuah sajian yang sangat menyentuh dan membuat para penonton juga ikut merasakan emosi yang berantakan.
Permainan emosi ini juga didukung oleh kemampuan cast yang mumpuni dari Andrew Garfield dan Florence Pugh.
Kepiawaian sang aktor yang menampilkan sosok Tobias dengan kekakuannya sebagai pegawai kantoran dan Almut yang diperankan Florence Pugh yang cukup energik, liar dan juga penuh hasrat untuk mengejar kariernya sebagai chef seolah menjadi dua kutub yang berlawanan namun disatukan dengan cinta.
Bagaimana tokoh Tobias yang jarang sekali menampilkan emosinya hampir di sepertiga film membuat penonton makin simpati padanya yang berkali-kali harus mengalah.
Apalagi momen di mana ia harus merelakan acara pernikahan yang diaturnya sedemikian rupa setelah Florence Pugh justru lebih memilih tampil di ajang bergengsi di dunia kuliner.
Adegan tersebut cukup “nyesss” buat gue sebuah kondisi dilema antara membahagiakan pasangan dan memuaskan ego menjadi pergumulan batin yang menarik untuk disaksikan.
Di menit akhir film justru Florence Pugh yang mencuri hati para penonton di mana ia melakukan perpisahan yang sangat berkesan untuk menutup kisah ini yang membuat kita mungkin akan nangis jelek.
Secara keseluruhan, film We Live in Time seolah menjadi refleksi untuk para pasangan, bagaimana terkadang kita lupa untuk bersyukur dan menatap terlalu jauh hingga lalai bahwa kita hidup di saat ini yang setiap menitnya sangat berarti.
-
News4 weeks ago
Unnamed Memory Act.2 Akan Tayang Secara Eksklusif di Platform Crunchyroll
-
News4 weeks ago
Yuru Camp Mendapatkan Adaptasi Season 4
-
Gaming4 weeks ago
Goddess of Victory: Nikke 2ND Anniversary Memberikan Bansos Serta Ruangan Terbaru
-
Berita Anime & Manga4 weeks ago
Light Novel Isshun de Chiryou shiteita noni Yakutatazu to Tsuihou sareta Tensai Chiyushi Yami Healer toshite Tanoshiku Ikiru Mendapatkan Adaptasi Anime
-
Berita Anime & Manga4 weeks ago
Manga Zatsu Tabi: That’s Journey Mendapatkan Adaptasi Anime
-
Berita Anime & Manga4 weeks ago
Manga Yamada-kun to Lv999 no Koi wo Suru Mendapatkan Adaptasi Live Action
-
Mobile Gaming4 weeks ago
Pihak Azur Lane Akan Melakukan Kolaborasi Dengan Pihak Asayoru Maid Cafe
-
Gaming4 weeks ago
Metaphor: ReFantazio Menjadi Salah Satu Game Terbaik Buatan Pihak Atlus