TV & Movies
Review film Tiga Dara (1956) Restorasi 4K, masterpiece film Indonesia yang bisa kita nikmati saat ini
GwiGwi.com – Bapak Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pernah mengatakan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah “. Mungkin quote tersebut sangat relevan dengan film Tiga Dara rilisan tahun 1956 yang di restorasi dengan format 4K sehingga generasi sekarang bisa menonton film garapan sutradara Usmar Ismail yang merupakan bapak perfilman Indonesia menjadi film terlaris di Indonesia dengan masa tayang 8 minggu pada masa itu dan menyelematkan rumah produksi PERFINI dari kebangkrutan.
Berkisah tentang tiga dara, Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Neni (Indriati Iskak). Mereka tinggal dengan ayah mereka, Sukandar (Hasan Sanusi), dan nenek (Fifi Young). Film dibuka dengan perayaan ulang tahun ke-29 Nunung, si anak pertama.
Alih-alih hal ini membuat sang nenek bahagia, hari itu mengingatkan sang nenek pada usia cucunya yang dirasa harus segera mencari pasangan untuk menikah. Maka, cerita pun bergulir tentang menemukan calon pendamping untuk si Nunung. Berbeda dengan adik-adiknya, Nunung berkarakter kurang bergaul dan pemarah, sehingga laki-laki enggan mendekatinya.
Namun, sebuah peristiwa kecelakaan lalin membuatnya berkenalan dengan seorang pemuda bernama Totok (Rendra Karno), yang mulai rutin mengunjunginya di rumah sebagai permintaan maaf. Ketika benih-benih cinta mulai muncul di hati Nunung, sang adik Nana ‘merebut' si pemuda darinya kalo generasi sekarang bilang nya menikung padahal Nana sudah ditaksir oleh Herman (Bambang Irawan). Konflik pun terjadi. Bagaimana akhir kisahnya? Kemana cinta tertambat?
Meski beralur linear film ini mampu membuat penonton penasaran menyaksikan hingga akhir film. Beberapa scene diselipkan komedi tentang kehidupan pemuda-pemudi tempo dulu.
Beberapa lagu dirasa perlu untuk mengekspresikan perasaan. Karakter tiga dara mampu diperankan dengan baik oleh pemeran. Nunung yang pasrah, kurang bergaul, dan pemarah. Nana yang supel, dan agresif. Dan si bungsu Neni yang ceria, cerdik, dan solutif. Ketiga karakter ini mampu membuat jalinan cerita drama keluarga yang enak dinikmati, seperti tag line film ini: akan membuat tuan dan puan terharu, tertawa, dan terpesona di dalam gedung teater.
Menurut gue, film Ini sangat luar biasa karena seperti mesin waktu yang membawa kita ke era 1950-an. Kita bisa melihat kondisi Jakarta tempo dulu, bioskop metropole yang masih ada hingga saat ini. Dan one more thing kita sudah memiliki film musikal sebelum Sounds of Music produksi Hollywood yang rilis tahun 1965.
Well, bukan perkara yang mudah untuk merestorasi sebuah film yang cukup lawas, dikarenakan pita negatif dari film ini mengalami kerusakan akibat dimakan usia. Dan juga biaya merestorasi nya pun memakan waktu 17 bulan di Italia.
Menurut gue, gak rugi kok kalau kalian menonton film Ini karena film ini merupakan sajian yang sangat luar biasa dan premis dari film ini cukup sederhana dan mudah untuk dicerna baik generasi yang sudah tua maupun generasi muda.
Gue pribadi mengharapkan dirilisnya Tiga Dara hasil restorasi ini ke dalam bentuk home video yang bisa menjadi tambahan koleksi home video.
TV & Movies
Review Film Joker: Folie a Deux, that’s all folks!
www.gwigwi.com – Pasca insiden di film pertama, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) menghabiskan waktu sehari-hari di Arkham Asylum.
Ia pun tersiksa dan tertindas karena setiap hari karena dipaksa untuk melempar lelucon kepada sipir penjara sembari menunggu proses hukum terhadap dirinya.
Ia pun bertemu Harleen Quinzell, yang mendewakan sosok Joker dan juga memperkenalkan musik sebagai coping mechanism atas apa yang diderita oleh Arthur.
Jujurly, menurut gue gak semua film yang sukses secara kualitas maupun komersial harus ada sekuelnya dan jika “dipaksakan” akan aneh jadinya. Mungkin hal tersebut berlaku juga di film ini.
Namun layaknya sebuah sekuel, gue suka dengan kompleksitas karakter Joker yang merupakan sebab akibat dari film pertamanya yang makin karismatik yang dimana ia mampu mengendalikan massa dan sosok Harley Quinn.
Ada sesuatu yang baru di film ini yaitu elemen musikal yang dieksekusi malu-malu kucing maksud hati ingin terkesan stylish, namun di sisi lain ingin tetap menjadi crime dan psychological drama.
Namun output dari film ini memiliki hasil yang kurang seimbang transisi antara kedua elemen ini pun gak berjalan smooth.
Performa Lady Gaga pun disini terkesan seperti potensi yang di sia-siakan. There’s no room for her untuk menunjukkan kualitas bermusik dan berakting. Padahal Gaga punya track record yang cukup oke ketika ia bermain film.
Lain halnya dengan Joaquin Phoenix yang asik aja dan mampu bergonta-ganti persona sebagai Arthur Fleck dan Joker semudah membalikkan telapak tangan di sepanjang film.
Di film ini juga dinamika “asmara” antara Joker dan Harley disini sangat eye catchy untuk diikuti dan dikemas dengan lagu-lagu lawas nan asik bikin kita SING-a-long di sepanjang film.
Akhir kata, Joker: Foile a Deux merupakan sajian film yang dicukupkan saja di film pertama. Kalau tetap membuat formula crime dan drama tanpa elemen musikal gue rasa akan lebih mudah diterima oleh audiens.
TV & Movies
Review Film LEMBAYUNG, Teror Sexual Abuse Yang Lemah
www.gwigwi.com – Arum (Yassamin Jasem) dan Pica (Taskya Namya) menjalani praktek kuliah kedokteran di Rumah Sakit Lembayung. Mereka langsung di tolak Dokter Ringgo (Oka Antara) yang hanya menginginkan anggota medis lelaki. Meski akhirnya tetap bisa praktek, kedua mahasiswi itu mulai merasakan beragam keanehan dan perlahan terkuak rahasia gelap di sana….
LEMBAYUNG sebenarnya mempunyai pesan yang mulia mengenai pelecehan seksual yang kontemporer. Dari karakter Arum sebagai sudut pandang korban di mana dimainkan dengan baik oleh Yasamin, terlihat penderitaan yang sulit terkatakan dan hanya bisa disimpan tapi dianggap normal oleh pelaku seperti karakter Heru (Ence Bagus).
Scare dan ketegangannya pun boleh juga untuk beberapa momen. Tantri (Anna Jobling) yang menghantui Lembayung mampu tampil creepy dan untuk momen menyentuh dia cukup berhasil.
Sayangnya segala potensi film baik pesan atau akting terasa percuma melihat banyaknya kekurangan LEMBAYUNG.
Durasi banyak dihabiskan untuk sekedar melihat keseraman saja tanpa arah yang jelas film mau ke mana. Karakter kebanyakan berlaku pasif, seolah sebagai samsak derita saja. Scare pun terlalu lama dan diberikan kejutan yang sepertinya ingin “shock” penonton tapi justru berakhir konyol. Logika yang diterabas asal adegan seram bisa terus berlanjut. Kemudian adegan frontal baik pelecehan dan sadisme yang tidak perlu.
Sutradara perdana Baim Wong sepertinua masih harus banyak belajar mengenai esensi ceritanya, sensitivitas di dalamnya dan bagaimana menyampaikannya. Jawabannya saat press conference begitu ditanya soal hal-hal sensitif dari filmnya, rasanya menunjukkan masih kurangnya koneksi beliau akan temanya sendiri dan definitely leave a lot to be desire.
LEMBAYUNG barangkali peringatan untuk awareness soal isu patriarki dan soal sexual abuse, tapi kalah oleh lemahnya storytelling dan keinginan besarnya untuk menunjukkan horror yang, maaf, murahan.
TV & Movies
Review Film NEVER LET GO, Horor ala dongeng kelam
www.gwigwi.com – Junebug (Halle Berry) dan kedua anaknya; Sam (Anthony B. Jenkins) dan Nolan (Percy Daggs IV) pergi keluar rumahnya di tengah hutan antah berantah untuk pergi mencari makan. Ketiganya mengenakan tali yang terhubung dengan rumah. Mereka berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak melepaskannya. Tali yang mengamankan mereka dari godaan iblis di hutan…
NEVER LET ME GO memilliki premis high concept sederhana yang tampaknya mudah sekali dibuat menjadi horror klise nan mudah ditebak. Menariknya, sedari pada membuatnya film horror biasa, film memiliki nuansa layaknya cerita dongeng yang kelam.
Mulai dari penggunaan chapter, setting hutan yang seperti kisah Hensel and Gretel dan nuansa mistis supranatural non abrahamic religius yang menyelimuti. Momen terbaiknya adalah saat film berasa seperti kisah folk tale ala amerika bagian selatan. Menjadikan NEVER LET GO berasa unik dan punya identitas sendiri.
June tampak paranoid berlebihan akan iblis di hutan. Samuel mau mempercayainya tapi Nolan mulai meragukan ibunya. Apalagi saat Koda, anjingnya, menjadi taruhan.
Apakah si iblis benar ada atau hanya godaan dari situasi mereka yang penuh putus asa? Film memainkan suspense tersebut dan sebagian besar cukup berhasil hingga membuat NEVER LET GO menjadi pengalaman unik dibanding horror lain.
Hanya saja begitu sampai pada jawabannya, boleh jadi kurang memuaskan. Agak membuat bingung apa kesimpulan film ini; ingin bicara soal konflik psikologis kah? Selamat dari monster? Atau keduanya?
Rasanya jawaban dari klimaksnya terlalu ingin meraup semua tapi justru berakhir gamang. Tidak dengan pembangunan ketegangannya yang diadegankan dengan efektif dan diakhiri dengan scare yang menghantam.
NEVER LET GO barangkali eksperimen menarik dari tipikal premis high concept yang biasanya ambil jalur aman saja. Film ini mau melangkah lebih jauh di luar zona aman dan serius menghadirkan sesuatu yang berbeda.
-
Gaming3 weeks ago
Review P3R Episode Aigis: Ungkap Kebenaran yang Sesungguhnya
-
TV & Movies3 weeks ago
REVIEW FILM SPEAK NO EVIL, it’s okay to say no
-
Music3 weeks ago
WHITE SCORPION Akan Segera Merilis Album Berjudul ‘Ugoku Kuchibiru’
-
Gaming3 weeks ago
Proyek Ulang Tahun ATLUS ke-35 Metaphor: Refantazio Tujuan Perjalanan dan Menjelajahi Dunia Terungkap
-
Smartphone4 weeks ago
POCO Fans yang Mau #POCOnyaBeraksi Menaklukkan PUBG Mobile, Pantang Melewatkan Promo POCO F6!
-
TV & Movies2 weeks ago
Review Film NEVER LET GO, Horor ala dongeng kelam
-
Event3 weeks ago
Genshin Impact Merayakan Anniversary Keempat dan Ekspansi Tahunannya dalam Acara Khusus Fan Art Genshin Impact di HoYoFair yang Akan Tayang pada 21 September
-
Esports4 weeks ago
Rebellion Esports dan Evos Glory Terancam Tidak Akan Masuk PlayOff Pada Turnamen MPL ID Season 14