TV & Movies
Review Series The Last Dance, Mengenang Masa Keemasan Chicago Bulls di era 90an

GwiGwi.com – Documentary series yang tayang di Netflix yang cukup menghebohkan bagi para penggemar NBA di tengah pandemi covid-19 yang berimbas pada tidak adanya pertandingan basket NBA.
Serial dokumenter The Last Dance akan ditayangkan berseri selama lima pekan. Dua episode tiap minggu nya, di mulai 19 April 2020 dan responnya menggila !!
Kenapa begitu heboh? Satu, karena memang tidak ada lagi tontonan olahraga “wajib” di masa pandemi ini. Dua, tentu karena temanya yang menceritakan Michael Jordan dan Chicago Bulls di musim 1997-1998, saat mereka memburu gelar juara NBA keenam dalam delapan tahun. Salah satu atlet terbaik dalam sejarah olahraga apa pun, dalam salah satu tim paling hebat dalam sejarah olahraga apa pun, saat memburu gelar terakhirnya.
Judulnya pas, The Last Dance atau dalam bahasa Indonesia nya tarian terakhir. Dan itu bukan dari produser film. Judul itu disiapkan sendiri oleh sang pelatih tim, Phil Jackson, saat pertemuan tim menjelang musim 1997-1998. Kenapa terakhir? Karena mayoritas anggota tim itu kontraknya berakhir pada penghujung musim tersebut.
Berbagai faktor membuat mereka tidak mungkin bersama lagi di musim-musim selanjutnya. Bukan hanya batasan finansial dan usia, tapi juga hubungan personal dan lain sebagainya. Sejarah telah menunjukkan, Jordan sempat pensiun (lagi) setelah musim itu. Untuk kali pertama cerita di balik layarnya benar-benar ditampilkan. Pada 1997-1998 itu, sempat ada video kru dari NBA yang mengikuti setiap langkah tim. Namun, karena berbagai “ketegangan” dan lain-lain, video-video itu tak terpakai hingga sekarang.
Pada 2016 lalu, Jordan akhirnya sepakat cerita itu ditampilkan. Pihak NBA juga menyetujui. Muncullah The Last Dance, kisah “sesungguhnya” dari Chicago Bulls 1997-1998. Plus kisah perjalanan awal karir Jordan yang selama ini juga belum pernah ditampilkan. Tentu, ada banyak “rahasia” masih disimpan. Karena semua yang ditampilkan tetap harus disetujui oleh Jordan dan NBA. Namun untuk kali pertama publik umum bisa melihat Jordan yang tidak “dipoles” media pada masa itu. Beberapa ceritanya manis, bagaimana Jordan kecil sang “anak mama” selalu ingin mendapat pengakuan dari sang ayah. Bagaimana Jordan saat kuliah di University of North Carolina sempat mengirim surat ke ibunya, minta kiriman uang saku karena uangnya hanya tersisa USD 20.
Adapun beberapa yang mengerikan, menggambarkan betapa “rusak” atlet era awal 1980-an itu. Jordan sebagai rookie (pendatang baru) terhenyak melihat kamar rekan setimnya berisikan narkoba dan perempuan. dan yang jadi menu utama serial ini: Bagaimana ketegangan terjadi antara para pemain, pelatih, dengan barisan manajemen dan pemilik. Semua ditampilkan seseimbang mungkin, karena semua pada dasarnya punya pertimbangan rasional berdasarkan tugas dan pekerjaan masing-masing. Bahkan walau kesal dengan manajemen, Jordan kepada media mengakui terus terang kalau secara organisasi Bulls memang harus profitable.
Orang-orang top lainnya ikut hadir. Termasuk dua mantan presiden Amrik, Barack Obama, dan Bill Clinton. Obama adalah warga Chicago, sedangkan Clinton adalah presiden saat Bulls merajalela itu. Ditambah lagi Clinton adalah mantan gubernur Arkansas, negara bagian tempat Scottie Pippen berasal.
Secara keseluruhan, The Last Dance membuat para penggemar Jordan dan Chicago Bulls bernostalgia. Mereka yang senior jadi lebih mengenal tim idolanya. Mereka yang dulu yang masih kecil jadi lebih mengerti apa yang terjadi. Semua punya cerita tentang Jordan dan Bulls ini, baik dari jauh maupun dekat.
TV & Movies
Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling klasik

www.gwigwi.com – Shakespeare, Jane Austen, Louisa May Alcott dan sekarang 3 Musketeers nya Alexandre Dumas. Tampaknya karya-karya klasik para penulis legenda itu tak akan pernah berhenti diadaptasi. Nah, tergantung pada filmmakernya, bisakah memberikan corak baru saat menggubahnya?

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
THE THREE MUSKETEERS: D’ARTAGNAN (2023) berkisah tentang D’artagnan (François Civil) yang ingin bergabung menjadi anggota Musketeer-nya Raja Perancis. Ia kemudian harus memghadapi konspirasi yang ingin menggulingkan kepemimpinan kerajaannya bersama 3 Muskeeter; Athos (Vincent Cassel), Porthos (Pio Marmaï) dan Aramis (Romain Duris).
Paling mencolok adalah bergantinya tipikal ksatria berbaju bersih klimis perlente seperti serial drama periode Downton Abbey (2010), dengan jubah Musketeer yang terlihat usang, kotor diterpa debu yang justru membuat pemakainya terlihat sebagai ksatria gagah kaya pengalaman yang tangguh. Bukan cosplayer event Renaisans.

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
Aksi dibuat lebih kasar hampir ala baku hantam preman dan dishoot dengan hand held mengikuti kibasan pedang walau agak shaky. Semua untuk membuat aksi lebih realis bak di Trilogi film Bourne. Pengadeganan ini menambah tensi koreografi yang sudah menarik.
Cerita pun mudah diikuti meskipun penonton tak kenal novelnya. Dengan alur cepat, penuh tensi penonton mengikuti D’artagnan yang berpapasan dengan 3 Musketeer satu per satu dalam adegan yang lucu, berwarna kepribadian para karakternya dan berenergi.

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
Ya film ini memang menampilkan aksi lebih gritty namun film tak lantas kelam muram durja. Para musketeer kuat, berkarisma dan full of life, membuat mereka mudah disukai seperti kebanyakan superhero Marvel.
THE THREE MUSKETEERS: D’ARTAGNAN (2023) adalah swashbuckling flick seru yang mengingatkan pada film seperti THE MASK OF ZORRO (1998). Genre petualangan mendebarkan yang Hollywood bantu populerkan tapi seolah lupa bagaimana meramunya lagi (uhukUncharteduhuk).
TV & Movies
Review Film Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam

www.gwigwi.com –

Review Film: Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam

Review Film: Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam

Review Film: Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam
Box Office
Review Film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes, Prekuel yang Perih

www.gwigwi.com – The Hunger Games. Barangkali tak sedikit yang lupa kalau film adaptasi novel karya Suzanne Collins berjudul sama pada tahun 2012 ini menggagas demam kisah Distopia Remaja ke Hollywood; Divergent, Maze Runner, etc.
Seakan berharap franchise ini masih ada gasnya, Lionsgate mengadaptasi buku The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes yang menceritakan masa muda si antagonis Presiden Snow.
Paska perang antara Capitol dan pemberontak yang disebut The Dark Days, Coriolanus Snow (Tom Blyth) hidup miskin dengan neneknya (Fionnula Flanagan) dan sepupunya Tigris Snow (Hunter Schafer). Di depan teman-teman kuliahnya yang kaya, dia berlagak setara. Tidak ngambil makanan gratis padahal kelaparan.
Coryo berharap mendapat penghargaan saat Reaping karena kerajinannya di universitas. Dia malah ditugaskan pencetus Hunger Games Casca Highbottom (Peter Dinklage) untuk menjadi mentor gadis nyentrik dari distrik 12 bernama Lucy Gray Bird (Rachel Zegler) untuk Hunger Games ke 10.

Review Film The Hunger Games: The Ballad Of Songbirds And Snakes, Prekuel Yang Perih
Coryo juga berhubungan dengan Gamemaker Dr. Volumtia Gaul (Viola Davis) yang mengajarkannya esensi Hunger Games dan mengarahkannya menjadi sosok yang dikenal fans di trilogi mbak Katniss Everdeen.
Rasa percaya diri yang besar bisa dirasakan dari film bergenre political thriller romance ini. Total mengedepankan kekejaman yang membuat perih baik di dalam maupun di luar arena. Intrik, senyum palsu, kebohongan, kekejaman mengadu anak-anak untuk saling bunuh dan pengkhianatan. Konsekuensi pada batin dari semua peristiwa itu dan keputusan yang diambil setelahnya. Sebuah film kelam yang cukup berani dan seakan melawan pasar audiens film mainstream umumnya.
Oleh karena hal itu juga THE HUNGER GAMES:THE BALLADS OF SONGBIRDS AND SNAKES menjadi unik dan mampu frontal memberikan pesannya.
Coryo terlihat sebagai orang biasa yang ingin mengangkat derajatnya dengan cara yang dianggap lurus tapi tak ragu bermain di sistem yang kejam. Seolah yang penting tujuannya tercapai, tapi Tom Blyth tak membuatnya sosok yang nihil emosi. Dari tatapannya dia mampu memancing iba yang membuat penonton peduli padanya sepanjang film. Namun sekaligus meyakinkan saat akhirnya membuat pilihan menyayat hati.
Lucy Gray Bird seperti peserta American Idol yang terjebak Hunger Games. Dia berani pada Capitol, mengerti yang harus dilakukan untuk bertahan dan ketika menyanyi memiliki pesona mudah disukai layaknya bintang.

Review Film The Hunger Games: The Ballad Of Songbirds And Snakes, Prekuel Yang Perih
Hubungan Coryo dan Lucy Gray ini beda dari Katniss dan Peeta. Karena keduanya memiliki moral yang lebih fleksibel, tak selurus duo trilogi sebelumnya. Hal ini membuat dinamika cerita menjadi lebih menarik dan tematik dengan dunia permainan Hunger Games; Apakah benar kepentingan mereka searah? Seberapa kuat dasar hubungan mereka untuk mereka saling percaya?
Coryo tidak membenci para peserta distrik lain tapi juga tidak terlihat total menyetujui Hunger Games. Dia hanya ingin ke “atas.” Maka agak aneh saat dia membela sistem battle royale itu dan bentrok dengan temannya Sejanus (Josh Andres Rivera) yang ingin melakukan perubahan. Begitu pun Lucy Gray yang sepertinya butuh pembangunan lebih banyak supaya aksinya di klimaks lebih bisa diterima.
Untungnya penyutradaraan Francis Lawrence dan akting para pemainnya tetap konsisten meyakinkan dalam membawakannya. Konflik batin, verbal dan fisik Hunger Games yang menegangkan tersaji oleh para filmmaker yang tampak sudah paham betul apa key selling point franchise ini dan bagaimana meramunya.
Pembuka diperlihatkan gedung-gedung Capitol yang hancur saat perang di mana Coryo dan Tigris kecil mencoba bertahan di sana. Pemandangan yang kini sedihnya familiar berseliweran di sosmed.
Kebetulan atau takdir yang luar biasa soal relevansi film ini dengan keadaan sekarang. Pilihannya pada penonton atau pelaku; Apakah bermain dengan sistem yang jahat karena seakan itulah dunia atau mencoba berontak sebisa mungkin seperti Katniss dan kawan-kawan. Coriolanus Snow akhirnya membuat pilihannya dan meski akhirnya sampai ke tujuan, bayarannya secara personal sangat mahal.
-
News3 weeks ago
Anime Movie Natsu e no Tunnel Sayonara no Deguchi Akan Tayang di Bioskop Indonesia Mulai Tanggal 15 November 2023 Nanti
-
News3 weeks ago
Pihak Hololive Akan Membuka Pop-Up Store di Tokyo Station Untuk Menyambut Para Turis Asing
-
Tech & life3 weeks ago
Review Logitech G705, Gaming Mouse Mungil Tapi Asik Diajak Main!
-
Smartphone3 weeks ago
POCO C65 Telah Hadir di Pasar Global
-
Box Office3 weeks ago
Review Film THE MARVELS, Cahaya Harapan Baru MCU
-
Gaming3 weeks ago
Pihak Bandai Namco Merilis DLC Tales of Aria Yang Berjudul “Beyond the Dawn”
-
Smartphone3 weeks ago
Samsung Galaxy M34 5G Gak Ada Matinya, Hadirkan Baterai 6.000mAh dan Kamera Anti-Blur
-
Mobile Gaming4 weeks ago
Hanya Bisa Bertahan 6 Tahun Kini Game Mobile SINoALICE Akan Segera Tutup Server