Connect with us

TV & Movies

Review Film Asterix: Secret of Magic Potions, petualangan Asterix dalam mencari penerus Getafix

Published

on

GwiGwi.com – Dukun Getafix sedang mengumpulkan bahan untuk persediaan membuat ramuan ajaib. Saat menolong seekor anak burung, rupanya Getafix terjatuh dan menyebabkan kakinya terluka dan merasa sudah saatnya untuk pensiun dan mencari seorang penerus.

Bersama Asterix dan Obelix, dan Getafix pun memulai petualangan mencari penerusnya tanpa mereka ketahui bahwa seluruh pria di desa Galia turut serta dalam pencarian tersebut. Termasuk seorang anak kecil murid Getafix yang bernama Pectin yang bisa menimbulkan masalah.

Kabar rapuhnya pertahanan Desa Galia yang ditinggal sang dukun dan para pria desa pun sampai ke Julius Caesar yang langsung memerintahkan pasukannya menyerang Desa Galia yang hanya dihuni satu pria dan para wanita dengan persediaan ramuan yang semakin menipis.

Getafix yang akhirnya menyadari bahwa Desa Galia harus segera ditolong pun terpaksa memilih seorang dukun muda Teleferix tanpa menyadari dibaliknya ada sosok Demonix dukun jahat yang berniat mencuri rahasia ramuan ajaib milik Getafix untuk diberikan kepada tentara Romawi.

Mampukah Asterix dan Obelix mencari penerus Getafix? Siapa Yang Berhak menggantikan Getafix?

Kisah Asterix dan Obelix pertama kali diterbitkan dalam bentuk komik strip di sebuah majalah Perancis-Belgia bertajuk Pilote pada 29 Oktober 1959, sebanyak 37 seri buku petualangan Asterix yang ditulis oleh Rene Goscinny dan diilustrasikan Albert Uderzo telah memikat ratusan juta pembaca berkat kisah petualangan kocak Asterix dan sahabatnya Obelix serta para penduduk Galia yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh pasukan Romawi akibat ramuan ajaib milik dukun (istilah dalam film druid) Getafix yang mampu memperkuat tenaga para penduduk yang meminumnya.

Gue sebagai salah satu pembaca kasual beberapa seri buku Asterix di masa kecil Karena gue baca beberapa komiknya, gue ngerasa nostalgia yang sangat membahagiakan saat menonton film ini.

Selain karena merasa dekat dengan para karakternya, gaya komedi yang ditampilkan di dalam film ini pun memiliki kesamaan dengan di komiknya.

Padahal film ini tidak didasarkan pada buku karya Goscinny dan Uderzo, melainkan merupakan cerita asli tulisan Alexandre Astier yang juga menulis naskah sekaligus menjadi sutradara film Asterix: The Secret Of The Magic Potion ini bersama dengan Louis Clichy.

Kini dengan jalan cerita semakin rentanya Getafix dan momen yang bersifat darurat untuk mencari seorang penerus, film Asterix: The Secret Of The Magic Potion ini dibuat.

Film karya sutradara Alexandre Astier dan Louis Clichy yang disulihsuarakan dalam Bahasa Inggris ini direncanakan tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 2 Agustus 2019.

Cerita film berjalan dengan lancar tanpa masalah walau penuturannya terasa melompat-lompat akibat banyak selipan Filler saat proses mengaudisi penerus Getafix.

Film juga terasa cerewet akibat banyaknya dialog yang disampaikan dalam tempo yang cepat berbarengan dengan adegan slapstick yang bertebaran.

Punchline leluconnya, termasuk nama-nama para karakter yang berakhiran huruf X memang seringkali lucu dan efektif memancing tawa, namun banyaknya aksi dan dialog di film berpotensi membuat penonton mungkin akan lelah.

Bahasa gambar kurang dimaksimalkan dalam menceritakan kisah yang ingin disampaikan, sehingga banyak dialog yang terucap oleh para karakternya yang juga sangat banyak. Dari mulai para penduduk Galia, para anggota komunitas dukun, tentara Romawi, bahkan para karakter dukun muda yang diaudisi mendapat jatah dialog yang tidak sedikit. Bisa jadi membuat penonton juga jadi sulit fokus. Namun Di beberapa seri komiknya memang gaya nya seperti Ini.

Imbasnya, karakter Demonix sebagai antagonis utama jadi terasa tidak maksimal karena terlalu banyaknya karakter dalam film.

Begitu pula karakter Asterix yang menjadi judul film. Sosok karakter yang biasanya dijadikan sentral cerita terasa minim perannya dalam film ini.

Memang fokusnya pada di Getafix dalam mencari penerus, sehingga judul film ini terasa agak misleading dan kelihatannya digunakan untuk kepentingan promosi memakai nama besar Asterix saja.

Secara teknis produksi film tidak ada masalah yang berarti, malah kualitas animasinya semakin membaik dan cantik dipandang mata.

Setelah film Terra Willy beberapa waktu lalu, dapat disimpulkan kualitas film animasi Prancis tidak dapat dipandang sebelah mata.

Kualitas animasinya patut diperhitungkan dalam kancah persaingan film animasi dunia bersama Jepang dan Amerika Serikat tentunya.

Dari sisi pengisi suara, penayangan film di Indonesia yang memakai dubbing Inggris agaknya patut disesalkan namun juga patut dimengerti, karena target audience film ini anak-anak yang dimana notabene anak-anak Indonesia lebih akrab dengan bahasa Inggris di masa pertumbuhannya.

Pengisi suara bahasa inggris dalam film ini tidak istimewa dan tidak juga jelek, alias standar.

Secara keseluruhan, Film Ini punya faktor nostalgia yang dapat menjadi faktor pendulang penonton dewasa dan materi cerita dan lelucon yang berpotensi menarik minat anak-anak.

Film Asterix: The Secret Of The Magic Potion ini tentunya akan menjadi hiburan yang tepat bagi anak-anak di tengah gempuran film action dan film untuk dewasa lainnya yang juga tayang bersamaan dengan film ini.

Meskipun terasa cerewet dalam bercerita dan penuh dialog, namun kelucuan lelucon dan keseruan aksinya masih menghasilkan hiburan yang fun dan segar bagi penonton.

Advertisement

TV & Movies

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis lagi dan lagi dan lagi…

Published

on

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

www.gwigwi.com – Sinemaku Pictures kembali dengan drama penuh air mata…Menariknya PH ini selang seling menelurkan karya horor dan drama menyentuh saja sejauh ini. Semoga bisa lebih variatif ke depannya.

Drama kali ini berjudul PERAYAAN MATI RASA yang dibintangi si Dilan, Iqbaal Ramadhan. Tentu disambut buanyak fansnya saat si aktor muda berjalan di karpet merah. Menariknya Iqbaal terlihat tidak mau larut dalam popularitas ini dan lebih senang bisa berakting lagi setelah 3 tahun.

Ian (Iqbaal) ingin sukses dalam karirnya ngeband bersama teman-temannya. Akibatnya dia menyampingkan waktunya dengan keluarga. Baik adiknya, Uta, (Umay Shahab) si streamer sukses dan Ibunya (Unique Priscilla) ingin si anak tertua lebih bisa hadir di rumah daripada di panggung.

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Si bapak lah, si pelaut Satya (Dwi Sasono) yang terus berpikiran positif soal pilihan karir Ian, tetapi justru anak tertuanya yang tidak senang si ayah karena kerap pergi lama dari rumah. Sekalinya pulang, menasihati Ian harus ABCD, membuat si anak muak dan menjaga jarak dengan bapaknya.

Si anak memiliki abandonment issue lantas menjauh dari keluarga. Meneruskan “luka” ditinggalkan ini yang masalah generasional.

Sampai suatu hari suatu kejadian naas menimpa yang membuatnya..mati rasa…tetapi keluarganya membutuhkannya…

PERAYAAN MATI RASA memiliki eksekusi yang sungguh cukup paten. Baik secara directing, editing dan akting. Semua engaging dan enak sekali “ngalirnya” dari adegan ke adegan.

Selalu dijaga daya tarik naratifnya untuk penasaran apa yang akan terjadi berikutnya pada Ian dan keluarga. Apalagi akting Dwi Sasono yang menjadi pondasi emosional keseluruhan film. Meski tak banyak porsi, beliau membekas sekali pengaruhnya sepanjang film.

Begitu pun Iqbaal yang sekali lagi pesona protagonisnya memancar. Apa pun yang dia coba deliver, hampir semuanya konek ke audiens. Apakah itu saat dia marah, sedih atau pun lemah. Sayangnya PERAYAAN MATI RASA kurang kuat di cerita lantaran penuh dengan klise yang sulit ditolong eksekusinya.

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Durasi yang cukup panjang rasanya tidak perlu untuk cerita yang alurnya mudah ditebak. Rasanya penonton hanya menunggu untuk sesuatu yang pasti terjadi hanya tinggal tunggu waktu. Tanda cerita kurang punya kejutan hingga rasa jemu datang.

Paruh akhir film menjadi sangat mendayu dayu. Sampai 4 kali ada adegan pengungkapan atau curhat sampai menangis. Sepertinya bisa lebih tidak terasa repetitif dan dipilah lagi mana adegan yang lebih menghujam dan kuatkan di situ.

Padahal sebelumnya Sinemaku Pictures cukup berhasil menyampaikan kepedihan dalam bentuk yang lebih halus dan efektif di BOLEHKAH SEKALI SAJA KUMENANGIS.

Bohong rasanya bila tidak ada adegan sungguh menyentuh atau lucu yang rada menyegarkan, tetapi semoga karya Sinemaku Pictures berikutnya lebih memiliki cerita lebih solid untuk mendukung eksekusi yang semakin berkembang.

 

Continue Reading

TV & Movies

Review Film Companion, another it’s not you, but me

Published

on

Review Film Companion, Another It’s Not You, But Me

www.gwigwi.com – Iris, seorang wanita muda yang bucin banget dengan pacarnya Josh (Jack Quaid), seorang pria manipulatif yang mendominasi dirinya secara halus.

Singkat cerita, Iris dan Josh liburan ke sebuah mansion terpencil untuk akhir pekan bersama empat teman mereka.

Namun, dinamika dalam grup ini segera memicu ketegangan. Mantan pacar Josh, Kat (Megan Suri), dan gadun-nya yang misterius, Sergey (Rupert Friend), menambah lapisan kompleksitas dalam hubungan antar karakter.

Sementara itu, karakter-karakter pendukung seperti Eli (Harvey Guillén) dan pacarnya Patrick (Lukas Gage) memberikan momen humor yang sinis sekaligus tragis.

Review Film Companion, Another It’s Not You, But Me

Review Film Companion, Another It’s Not You, But Me

Film yang digarap dan naskahnya ditulis oleh Drew Hancock ini, menggunakan treatment yang cukup fresh dan gue menyebut film ini romance-thriller. Awalnya manis-manis gak taunya wehhhhh…

Kenapa begitu? Awalnya, film ini terasa seperti drama interpersonal dengan sedikit sentuhan humor gelap, tetapi perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang tidak terduga.

Drew Hancock menyajikan pertanyaan menarik tentang batas-batas cinta, pengorbanan, dan kendali dalam hubungan, tanpa memberikan jawaban yang mudah. Komedi yang kelam juga muncul di sepanjang film memberikan kontras yang efektif dengan momen-momen horor yang mengganggu.

Hal ini juga didukung oleh performa para aktor dan aktrisnya. Sophie Thatcher sangat bersinar dalam memerankan Iris, perjalanan emosional digambarkan dengan total dari pengabdian penuh kasih hingga ketakutan dan keputusasaan dengan intensitas yang memikat.

Review Film Companion, Another It’s Not You, But Me

Review Film Companion, Another It’s Not You, But Me

Jack Quaid, yang biasanya langganan jadi cowok yang apes dalam urusan percintaan. Awalnya kasihan, tapi kok seiring berjalan nya film malah pantas untuk di maki-maki.

Another cast seperti Megan Suri, Rupert Friend, Harvey Guillén, dan Lukas Gage menambah dimensi yang menarik di film ini, masing-masing membawa kepribadian yang ajaib dan hubungan yang kompleks.

Akhir kata, sebelum menyaksikan filmnya baiknya jangan cari tahu apapun soal film Companion. Disinilah daya tariknya, Ini adalah film yang menantang ekspektasi, memadukan horor, komedi gelap, dan drama psikologis menjadi pengalaman sinematik yang menggelitik.

Dengan tema yang berani dan eksekusi yang penuh gaya, Drew Hancock berhasil menciptakan karya yang akan berbekas di benak penonton setelah menyaksikan film ini.

Continue Reading

TV & Movies

Review Film DARK NUNS, Biarawati yang Nyeleneh

Published

on

Review Film Dark Nuns, Biarawati Yang Nyeleneh

Dark Nuns adalah sequel dari The Priests tahun 2015, kalau dulu ada Romo Kim dan Choi sekarang digantikan oleh biarawati Junia/Yunia (Song Hye-kyo) dan Michaela (Jeon Yeo-been) yang bertekad mengusir iblis dari dalam seorang anak Bernama Hee-Joon (Moon Woo-jin).

Posisi Yunia cukup menimbulkan kontroversi karena biasanya hanya pastor/romo yang bisa melakukan eksorsisme, apalagi Yunia belum ditahbiskan sebagai biarawati yang resmi. Namun kontroversi ini untungnya hanya dimunculkan sebentar saja sehingga tidak mengganggu plot utama cerita.

Review Film Dark Nuns, Biarawati Yang Nyeleneh

Review Film Dark Nuns, Biarawati Yang Nyeleneh

Kelakuan Yunia yang tidak mengikuti birokrasi dan sangat suka merokok sehingga dijuluki Dark Nuns, sering ditegur oleh keuskupan Korsel terutama Romo Paolo (Lee Jin-wook) yang merupakan mentor dan atasan dari Michaela. Paolo sangat skeptis terhadap konsep iblis yang merasuki manusia, ia berpendapat bahwa itu hanyalah kasus psikologis dan mental. Michaela pun menganut paham ini walaupun ia sendiri sering mendapatkan penglihatan-penglihatan.

Setelah dipaksa-paksa oleh Yunia dan melihat sendiri apa yang dialami oleh Hee-Joon makai a pun bertekad mengusir iblis yang merasuki sang anak dengan berbagai cara. Hal yang unik dari film ini karena selain ritual eksorsisme Katolik, juga menampilkan ritual shamanisme Korea dalam mengusir roh jahat. Hal ini cukup memberikan warna pada genre eksorsisme.

Review Film Dark Nuns, Biarawati Yang Nyeleneh

Review Film Dark Nuns, Biarawati Yang Nyeleneh

SHK terlihat menjiwai peran sebagai Yunia, bahkan ia juga belajar merokok untuk peran ini. Begitu juga Jeon Yeo-been yang harus berperan sebagai seorang wanita yang sebetulnya mengalami hal-hal supranatural namun dipaksa untuk mengabaikannya dengan alasan rasionalitas, sayangnya pengalaman masa kecil Michaela ini kurang didalami (mungkin perlu spin off).

Keberadaan Romo Paolo yang awalnya dianggap akan terus menjadi tokoh yang menghidupkan konflik benar-tidaknya kasus-kasus kerasukan ternyata pada 2/3 film sudah tidak relevan lagi terutama pada akhir film yang harusnya ia mengawasi ritual eksorsisme tapi ternyata menghilang begitu saja. Walau ada beberapa plothole, overall film Dark Nuns ini seru untuk ditonton di tengah-tengah serbuan film horror dan mistis asal Indo.

Continue Reading

Interview on GwiGwi

Join Us

Subscribe GwiGwi on Youtube

Trending