Connect with us

Box Office

Review Film: Pride and Prejudice and Zombies, wabah zombie dicampur cerita cinta di era para kaum aristokrat

Published

on

GwiGwi.com – Jika kamu menonton Pride and Prejudice and Zombies ini bisa diandaikan seperti menikmati nasi goreng dilumur coklat kental, tidak cocok dan tentu saja rasanya tidak enak, tidak peduli jika koki yang menyajikannya sekelas Gordon Ramsey dengan tiga Michellin-nya.

PPZ

Ya, novel Pride and Prejudice-nya Jane Austen bisa dikatakan sebagai salah satu karya tulis terbaik yang pernah ada, sejak dirilis 1813 silam, adaptasinya sudah dibuatkan bolak-balik dari drama radio, panggung dan tentu saja film. Masalahnya menjadi berbeda ketika seorang novelist Amerika bernama Seth Grahame-Smith kemudian “lancang” mengutak-atik kisah aslinya, menambahkan elemen horor berwujud zombie ke dalamnya, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya juga dalam Abraham Lincoln, Vampire Hunter yang kebetulan juga dibuatkan versi live action-nya 2012 silam.

Dari luar, semuanya masih seperti pada tempatnya, set Inggris lama abad 19, korset-korset ketat dari gadis-gadis cantik keluarga Bennet dan tentu saja, hidangan utama; tarik ulur kisah percintaan antara Elizabeth Bennet (Lily James) dan Mr. Darcy (Sam Riley). Ya, semua seperti pada novel aslinya kecuali kemudian ini bukan diadaptasi dari novel aslinya. Jadi ada wabah zombie mematikan di sini yang mengancam eksistensi umat manusia dan kegalauan cinta kemudian bercampur kengerian yang diakibatkan dari serangan mayat-mayat hidup yang menyebar dengan cepat. Tetapi tenang saja, putri-putri Bennet tidak hanya cantik di luar namun juga punya kemampuan mematikan untuk membasmi para undead.

pride-and-prejudice-and-zombies-movie-image-3

Tentu saja akan muncul-muncul pertanyaan menarik ketika ada seseorang yang cukup gila mencampur literatur romansa abadi Inggris yang begitu dihormati dengan elemen horor modern macam zombie. “Apakah akan menjadi lucu?”, “Apakah akan cukup menegangkan?” Dan tentu saja yang paling penting “Apakah berhasil?” Sayang saya harus dengan berat hati menjawab “TIDAK”.

Permasalahannya, ini bukan materi yang cocok untuk disatukan, seperti air dan api, seperti nasi goreng dan cokelat. Mungkin kasus Abraham Lincoln, Vampire Hunter sedikit berbeda, premis solonya memungkinkan penyelewengan kisah sejarah fiktif tentang seorang Presiden Amerika yang juga berprofesi sebagai pembasmi vampir menjadi sebuah kisah baru yang menghibur.

Sementara cinta dan zombie mungkin cukup sulit, meski beberapa film yang punya dua elemen itu pernah ada yang cukup berhasil seperti Warm Bodies atau Life After Beth namun mereka bukan diadaptasi dari novel Jane Austen yang kompleks. Ketiadaan keseimbangan yang memadai antara romansa, komedi dan horor, tidak ada peleburan yang sempurna antara satu elemen dan elemen lain membuat garapan Burr Steers ini (Igby Goes Down, 17 Again ) terasa compang-camping tak karuan.

pride-and-prejudice-and-zombies-movie-image-2

Di satu sisi naskah yang juga ditulis Steers terlihat berusaha keras untuk tetap mempertahankan semua identitas novel aslinya bersama segala konflik cinta dan status kemapanan antara Elizabeth dan Mr. Darcy, namun dominasinya begitu besar sampai-sampai membuat porsi zombie nya terasa hanya sebagai pelengkap penderita semata.

Ya, kamu bisa saja memotong elemen horornya, dan ia tetap akan bisa berjalan normal layaknya puluhan adaptasi Pride and Prejudice lainnya, tetapi itu bukan pujian, apalagi ternyata dominasi Jane Austen-nya juga tidak bekerja dengan baik, hasilnya, hambar dan membosankan.

Pride-and-prejudice-and-zombies

Jujur saja, Lily James memang terlihat sangat cantik di sini sama cantiknya ketika ia memerankan sosok upik abu di adaptasi terbaru Cinderella meski berganti warna rambut dan tanpa kereta kencana atau sepatu kaca. Tetapi cantik saja tidak cukup untuk film yang punya dua sisi berbeda.

Di satu sisi James tidak cukup tangguh dan seksi sebagai sebuah zombie slayer meski konon karakternya dilatih keras di sebuah biara Shaolin di Tiongkok, sementara di sisi lain ia juga tidak cukup kuat mengemban peran sebagai Elizabeth Bennet dengan segala kegalauan hatinya. Chemistry antara James dan Sam Riley yang tampil terlalu dingin di sepanjang film juga tidak mampu mengangkat sisi romantisnya menjadi lebih baik.

Advertisement

Box Office

Review Film HOUND OF WARS, Penculikan Presiden Yang Monoton

Published

on

Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

www.gwigwi.com – www.gwigwi.com – Dalam film ini, Ryder (Frank Grillo) menjadi satu-satunya pasukan khusus yang selamat dalam sebuah operasi yg gagal saat berusaha membunuh seorang warlord di Libya.

Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Ternyata gagalnya operasi tersebut dikarenakan Kolonel Hart (Robert Patrick) yang membelot dan memihak kepada warlord tersebut. Ryder pun berencana membalas dendam terhadap Hart dengan menculik presiden Amerika Serikat dan membongkar kemunafikan pemerintah AS dengan melakukan misi-misi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh negara lain.
Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Tema film yang standard dan tanpa adanya kreativitas malah menjadikan film aksi yang monoton. Entah faktor apa yang terjadi? Kemudian durası di film ini juga terkesan diulur-ulur  dengan adegan-adegan tidak perlu dengan ending yang juga antiklimaks.
Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Adegan aksi dalam film ini yang masih OK untuk dilihat walau tidak sampai terlalu berkesan.
Performa Frank Grillo cukup baik di film ini namun sangat disayangkan akting Robert Patrick terasa penampilannya kaku dan kurang mendukung secara keseluruhan film. Begitupun dengan pemeran pendamping lainnya juga tidaklah istimewa.
Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Hound Of Wars: Penculikan Presiden Yang Monoton

Akhir kata, Hounds of War ini memang hanyalah film aksi kelas B yang biasa aja, semoga kelak Frank Grillo dapat membintangi film aksi yang lebih baik daripada ini.

Continue Reading

Box Office

Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Published

on

Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

www.gwigwi.com –

Hijack 1971 dibuat berdasarkan kisah nyata pembajakan pesawat penumpang F27 Korean Airlines tahun 1971. Dalam film ini menceritakan Co-pilot Tae-in (Ha Jung Woo), yang mantan pilot AU Korsel dan pilot Gyu-sik (Sung Dong Il) mengendalikan pesawat penumpang tujuan Gimpo namun tidak lama setelah berangkat, Yong-dae (Yeo Jin-goo) seorang pemuda yang pernah masuk penjara karena dianggap simpatisan Korea Utara meledakkan granat homemade lalu membajak pesawat penumpang tersebut.
Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Gyu-sik terluka di salah satu matanya sehingga tanggung jawab mengendalikan pesawat sepenuhnya dipegang oleh Tae-in. Ketegangan pun sempat terjadi karena para penumpang mencoba melumpuhkan pembajak namun gagal, bahkan seorang penumpang pun terluka yang membuat situasi bertambah pelik.
Gyu-sik dihadapkan pada dilema antara mencegah pesawat menyebrangi perbatasan Korea Utara seperti permintaan si pembajak dan menjaga nyawa para penumpangnya.
Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Ketegangan demi ketegangan terus bermunculan sepanjang durasi film apalagi saat pesawat AU Korsel muncul untuk menghadang pesawat penumpang tersebut.
Banyaknya aktor dan aktris berpengalaman dalam film ini diantaranya Ha Jung-woo, Sung Dong-il, Kim Dong-wook menjadi salah satu faktor film ini seru ditonton, namun dari segi plot menurut gue memang tidak menampilkan keriuhan di kalangan pejabat dan militer Korsel, mungkin karena faktor menjaga durasi tidak terlalu lama dan agar lebih fokus pada ketegangan dan aksi heroik Ta-in di dalam pesawat.
Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Review Film Hijack 1971, Adu Nyali Pilot Dengan Pembajak

Film Hijack 1971 sudah tayang di Korsel sejak bulan lalu dengan jumlah penonton lebih dari satu juta ini sekarang dapat kita saksikan di bioskop-bioskop kesayangan kalian.
Continue Reading

Box Office

Review Film The Bikeriders, Ketika Austin Butler Nge-Dilan

Published

on

Review Film The Bikeriders, Ketika Austin Butler Nge Dilan

www.gwigwi.com – Tahun 1960an, Kathy (Jodie Comer) diminta temannya untuk ke bar. Bar itu ramai dengan klub motor Vandals pimpinan Johnny (Tom Hardy). Di sana lah Kathy bertemu salah satu anggota Vandals yang kelak akan menjadi suaminya, Benny (Austin Butler).

Diadaptasi dari buku dokumentasi kehidupan biker pada rentang tahun 1965-1973 berjudul sama, THE BIKERIDERS memang kilasan kehidupan klub motor Vandals. Awal mulanya, rekrut anggota, konflik internal hubungan dengan gang lain dan turbulensi drama lainnya.

Review Film The Bikeriders, Ketika Austin Butler Nge Dilan

Review Film The Bikeriders, Ketika Austin Butler Nge Dilan

Maka penonton seolah diminta untuk menjadi pengamat lika-liku kehidupan mereka tanpa terikat plot film yang super dramatik.

Jodie Comer dengan aksen selatannya dan sikap cueknya membuatnya menonjol di antara maskulinnya anggota Vandals. She chews the scenes easily.

Mudah sekali membuat karakter bos seperti Johnny klise tapi Tom Hardy hanya dengan ekspresi minimal dan tatapannya, memberikan kedalaman nan dimensi yang berbobot. Apalagi saat Johnny sadar Vandals menghadapi zaman baru yang tak dikenalnya.

Review Film The Bikeriders, Ketika Austin Butler Nge Dilan

Review Film The Bikeriders, Ketika Austin Butler Nge Dilan

Bagaimana dengan Austin Butler? Cukup duduk atau jalan dengan tampang cool nya saja sudah bisa bikin penonton klepek. Sutradara Jeff Nichols sepertinya mempunyai misi membuat Austin Butler sekeren mungkin dan si aktor pemeran ELVIS (2023) itu sangat mampu membawakannya.

Akting para pemainnya inilah yang membuat THE BIKERIDERS begitu memikat, di saat plot “cinta segitiga” antara Benny-Kathy-Johnny ini sudah umum ditemui di kisah lain.

Itulah rasanya kekurangan filmnya; bila segalanya dibuat seotentik mungkin dan dramatisasi film kurang kental…kenapa penonton tidak nonton dokumenter tentang biker saja tak perlu filmnya?

THE BIKERIDERS seolah sedikit penggambaran kematian perlahan suatu zaman yang lebih terhormat digantikan masa yang lebih keras dan bagaimana para pelakunya beradaptasi dengan itu; tertinggal, turun dari motor atau terus tancap gas…

Continue Reading

Interview on GwiGwi

Join Us

Subscribe GwiGwi on Youtube

Trending