TV & Movies
Review Film: Spring Breakers (2012), libur musim semi para cewek-cewek badung

GwiGwi.com – Film ini materi promosinya memperlihatkan gambar-gambar empat gadis cantik dalam balutan bikini super seksi. Dari keempat gadis tersebut ada Selena Gomez dan Vanessa Hudgens yang notabene dikenal sebagai Disney Princess. Sebuah langkah berani dari keduanya untuk mengubah imej putri menjadi gadis nakal berbalut bikini, dan tentunya sebuah daya tarik luar biasa bagi penonton pria untuk berbondong-bondong menyaksikan film ini.
Dengan materi promosi macam itu serta dilihat dari judulnya, mungkin banyak orang mengira bahwa Spring Breakers merupakan sebuah komedi konyol yang berisikan lelucon-lelucon jorok dan mengeksploitasi hal-hal berbau seksual termasuk tubuh seksi keempat aktris utamanya.
Tapi ini adalah film yang dibuat oleh Harmony Korine, sutradara sekaligus penulis naskah yang telah banyak menghasilkan film cult berisikan komentar sosial dan dibalut dengan cara yang unik bahkan beberapa kali terasa disturbing. Pada akhirnya Spring Breakers memang bukan sekedar film yang mengandalkan tubuh seksi pemainnya dan hal-hal berbau pesta pora liar meski aspek-aspek tersebut dengan setia mengiringi perjalanan film ini dari awal hingga akhir.
Awalnya film ini menceritakan mengenai empat orang sahabat, Faith (Selena Gomez), Candy (Vanessa Hudgens), Brittany (Ashley Benson) dan Cotty (Rachel Korine) yang begitu bernafsu untuk mengisi liburan musim semi mereka dengan berpesta di luar kota. Sempat bermasalah dengan uang, mereka pun memutuskan mencari uang dengan cara merampok sebuah restoran kecil.
Pada akhirnya mereka berempat berhasil berangkat ke Florida dan impian mereka bersenang-senang pun menjadi kenyataan. Bersama ribuan remaja lainnya mereka berpesta pora di pantai dan tidak lupa melakukan berbagai macam hal liar sambil dipengaruhi alkohol dan narkoba. Bagi mereka saat itu adalah waktu yang sempurna dan tidak ingin segera diakhiri.
Namun kesenangan tersebut terpaksa berakhir saat keempatnya tertangkap oleh polisi yang sedang melakukan razia narkoba. Disaat mereka dalam kesulitan itulah tiba-tiba muncul Alien (James Franco), seorang rapper sekaligus gangster yang membantu mereka keluar dari penjara. Kini mereka berempat akan memulai “pesta” baru mereka bersama Alien yang tentunya akan lebih gila, lebih liar, dan lebih berbahaya.
Sekitar 30 menit awal film ini kita masih akan disuguhi segala keliaran para remaja dalam mengisi liburan mereka. Sesekali akan ada momen perenungan dari Faith, tapi setengah jam pertama bisa dibilang murni mengajak penontonnya berpesta pora dan sejenak melupakan diri dari dunia nyata seperti yang dilakukan keempat karakter utamanya. Bagi penonton pria inilah momen yang sangat menyenangkan bagi kalian. Parade gadis-gadis seksi dalam balutan bikini bahkan telanjang sedang melakukan aksi gila nan erotis dibawah pengaruh alkohol menjadi hal yang selalu tersaji di layar.
Seperti mereka berempat saya diajak turut bersenang-senang dalam pesta warna-warni diiringi musik dari Skrillex yang menggoda tersebut…dan saya pun berharap kesenangan itu tidak cepat-cepat diakhiri. Namun lagi-lagi seperti para karakter utamanya yang harus kembali pada kenyataan, Spring Breakers mulai memperlihatkan sisi sesungguhnya setelah setengah jam pertama, tepatnya saat semua pesta sudah berakhir dan mereka berempat harus berurusan dengan polisi. Film ini pun mulai berubah haluan disaat sosok Alien mulai muncul dalam liburan musim semi tersebut. Ya, secara keseluruhan film ini memang sempat berganti haluan dan beberapa kali memberikan kejutan pada alurnya.
Meski dari luar nampak seperti film tidak serius yang hanya pamer keseksian, Spring Breakers sejatinya lebih dari itu. Film ini bercerita banyak mengenai coming-of-age, mengenai karakternya yang mencoba mencari jati diri mereka.
Film ini terasa sebagai sebuah sindiran saat Faith berulang kali menyatakan bahwa akhirnya ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya, menemukan jati dirinya bersama dengan banyak orang yang menurutnya sama sepertinya dan sangat mengerti akan sosoknya. Tapi benarkah itu semua? Apakah mereka termasuk Faith memang telah mengenal jati diri mereka? Spring Breakers membawa saya pada perjalanan untuk perlahan mengenal satu per satu dari keempat karakter utamanya, manakah yang memang melakukan hal yang sesuai dengan diri mereka dan mana yang tidak. Bisa dibilang film ini berisikan mereka yang tengah gamang akan siapa diri mereka dan mencoba meluapkan pertanyaan tersebut kedalam semangat bersenang-senang tanpa akhir yang kental dengan aura hedonisme.
Spring Breakers seolah benar-benar menampar mereka yang menyatakan bahwa hidup mereka hanya untuk berpesta dan bersenang-senang karena itulah jati diri mereka. Tapi benarkah? Ataukah mereka hanya mencoba kabur dari kenyataan?
Beruntunglah Spring Breakers yang juga memiliki pemain-pemain yang bermain dengan maksimal. Oke, keempat karakter utamanya memang sekilas tidak perlu banyak berakting dan hanya perlu berbuat se-bitchy mungkin, tapi setidaknya penampilan Selena Gomez dan Vanessa Hudgens patut mendapat pujian. Porsi Selena memang terasa terlalu sedikit, tapi setidaknya karakter Faith yang ia mainkan telah berhasil menyuntikkan salah satu pertanyaan moral terbesar film ini yang telah saya tuliskan diatas.
Sedangkan Vanessa Hudgens benar-benar tampil berani disini. Anda mencari adegan Vanessa telanjang bulat? Maka anda akan menemukannya meski tidak terlalu vulgar namun adegan itu tetap sebuah adegan yang berani. Namun tentu saja bintang utama film ini adalah James Franco. Seorang James Franco yang nampaknya hanya pas memerankan karakter baik-baik disini berhasil dengan sempurna menghidupkan Alien yang punya logat menggelikan serta perilaku liar.
Disini Franco membuktikan bahwa range aktingnya tidaklah sesempit yang dikatakan banyak orang. Spring Breakers adalah pengalaman menonton yang jauh lebih menyenangkan dari dugaan saya. Sebuah kolaborasi apik antara eksploitasi seksual dengan cerita penuh pertanyaan moral serta dibalut warna-warni cerah dan musik yang enjoyable.
TV & Movies
Review Film Wonka, Coklat ajaib yang setengah matang

www.gwigwi.com – Willy Wonka mungkin paling dikenal akibat CHARLY AND THE CHOCOLATE FACTORY (2005) buatan Tim Burton. Meski sukses, banyak yang menyayangkan versi itu yang tak selegendaris versi Gene Wilder, WILLY WONKA & THE CHOCOLATE FACTORY (1971).
Ironisnya, bisa jadi kesuksesan versi Tim Burton itulah yang menjadi landasan WB kalau masih banyak yang ingin mencicipi coklat ajaib buatan karakter tersebut. Maka muncullah WONKA (2023).
Bercerita tentang Willy Wonka muda (Timothée Chalamet) yang ingin membuat toko cokelat di distrik belanja, Galerie Gourmet. Dengan cokelat buatannya yang berbahan ajaib dari seluruh penjuru dunia, Willy yakin dia akan sukses. Impiannya tertahan oleh para saingan bisnisnya; Slugworth (Paterson Joseph), Prodnose (Matt Lucas), Mathew Baynton (Ficklegruber), yang ingin memonopoli bisnis cokelat. Mampukah Willy mewujudkan tokonya?

Review Film Wonka, Coklat Ajaib Yang Setengah Matang
Yap, ini adalah prekuel versi Gene Wilder melihat dari estetika artnya baik dari set desain maupun desain kurcaci Oompa Loompa. Tentu prasangka film hanyalah usaha studio memerah franchise tanpa peduli akurasi dan kualiti sangat besar. Untungnya sutradara Paul King, yang dulu sukses dengan PADDINGTON (2014) dan PADDINGTON 2 (2017), berhasil sebisa mungkin memaksimalkan nilai jual karakter buatan penulis legendaris Roald Dahl ini. Yah, sebisa mungkin.
Keajaiban dan jenaka adalah pesona dari WONKA (2023) yang Paul King sangat ahli menghidupkannya.
Deretan karakter yang unik dengan ekspresi emosi yang dilebihkan tapi tak berakhir lebay; antagonis jahat namun saat menari bisa lucu; polisi dan gereja yang bisa disuap dengan cokelat, etc. Seakan pada intinya, WONKA (2023) adalah film se harmless kartun anak-anak dengan secukupnya drama yang menyentuh.

Review Film Wonka, Coklat Ajaib Yang Setengah Matang
Adegan yang menunjukkan wonderment atau “keajaiban” filmnya seperti; Willy dan Noodle (Calah Lane) melompat-lompat di atas Galerie Gourmet dengan balon; Memerah susu jerapah dan tentunya saat pembukaan toko. Adegan-adegan itu terasa innocent manis nan menghanyutkan dan merupakan momen terbaik film.
Makanya saat klimaks film adalah tentang Willy merencanakan Heist atau pencurian, hal itu terasa tak sesuai spirit awal film. Malah seperti plot lain tetiba distreples saja. Ya, adegan pemuncak tersebut tetap lucu nan manis tapi rasanya bukan itulah alasan orang menyenangi Willy Wonka. Tambah lagi hubungannya dengan karakter Noodle seperti hanya berfungsi menebalkan plot heist itu. Bayangkan kalau klimaks AVENGERS ENDGAME (2019) adalah adegan balapan. Sebagus apa pun tetap saja tak terasa pas.
Willy Wonka versi Chalamet paling berhasil saat mengundang simpati dikala situasinya sulit dan bagaimana ia tersenyum hangat saat berinteraksi dengan orang. Dalam menunjukkan gilanya Willy, dia belum seberhasil Johnny Depp mau pun Gene Wilder. Rasanya performanya pas saja meski tak gagal atau memukau.

Review Film Wonka, Coklat Ajaib Yang Setengah Matang
Akting paling menarik perhatian justru Hugh Grant sebagai Oompa Loompa yang sebelumnya diidentikkan orang pedalaman yang liar, kini menjadi karikatur gentleman Inggris yang perlente, banyak akal dan menyebalkan.
WONKA (2023) ibarat merk coklat ajaib yang…membingungkan. Kadang terasa spesial manis nan menghanyutkan, tapi juga ada rasa yang umum untuk sekedar melengkapi. Pingin rasanya melihat Paul King meramu yang spesial itu saja sepenuhnya meski harus cobain merk coklat lain.
TV & Movies
Review Film NAPOLEON, and Josephine??

www.gwigwi.com – Napoleon seorang tokoh yang penting namun kurang banyak yang memfilmkan kisah hidupnya secara penuh. Beberapa film yang sudah ada hanya mengambil peperangan yang penting saja seperti Waterloo (1970) atau Battle of Austerlitz (1960) atau seperti The Emperor’s New Clothes (2001) yang bertema komedi fiksi/teori konspirasi bahwa dia digantikan oleh orang lain saat dibuang di St.Helena.

Review Film Napoleon, And Josephine??
Pada akhir tahun 2023 ini, Ridley Scott mencoba membawa Gwiple melihat bagaimana karir Napoleon menanjak terus dari yang tadinya hanya kopral artileri lalu menjadi Jendral hingga akhirnya menjadi Kaisar Prancis. Sayangnya karena durasi film hanya 150 menit jadinya adegan-adegan pertempuran yang ditayangkan hanya sebagian saja seperti di Toulon, Mesir, Austerlitz, dan Waterloo (yang entah kenapa kampanye di Italia hanya dinarasikan, padahal itu kampanye invasi pertama Napoleon yang mengangkat pamornya karena berhasil mengalahkan Austria yang sebagai penguasa de facto Italia) dan adegan-adegan itu terkesan lewat begitu saja tanpa menampilkan kepiawaian Napoleon berstrategi mengalahkan lawan-lawannya walaupun ia kalah jumlah; hanya Waterloo yang durasinya cukup panjang karena pertempuran itu yang mengakhiri karir Napoleon.

Review Film Napoleon, And Josephine??
Yang juga mungkin di luar dugaan adalah terlalu banyak proporsi film berfokus pada hubungan antara Napoleon dan Josephine dimulai dari pertemuan pertama mereka di sebuah saloon, bagaimana Napoleon mencoba memenangkan hatinya Josephine, pernikahan mereka, perselingkuhan yang dilakukan oleh masing-masing , perceraian karena Josephine tidak dapat memberikan keturunan laki-laki, hingga saat-saat terakhir mereka. Lalu pemilihan Joaquin Phoenix sebagai Napoleon muda , walaupun ia aktor bertalenta namun mukanya lebih tua daripada Vanessa Kirby yang memerankan Josephine padahal realitanya Napoleon saat itu berumur 26 tahun sedangkan Josephine sekitar 32 tahun. Dan saat berinteraksi dengan Josephine, Napoleon digambarkan sedikit konyol, nafsuan, dan ada kalanya terlalu bergantung pada istrinya, yang tidak dapat diketahui sejauh mana kebenarannya.

Review Film Napoleon, And Josephine??
Idealnya, Napoleon ini dibuat menjadi 3 atau 4 part agar momen-momen penting terutama pertempuran-pertempurannya dapat ditampilkan secara menyeluruh. Karena yang sekarang ini terasa terlalu terburu-buru dan kurang menampilkan para Marshals yang juga berperan besar dalam memastikan taktik Napoleon terlaksana dengan baik. Satu hal yang menarik, adanya seorang jenderal keturunan Afrika sering muncul dalam beberapa adegan, bagi yang awam bisa jadi bertanya-tanya siapa dia; namun bagi yang mengikuti kisah Napoleon tentu tahu bahwa ia adalah Thomas Alexandre Dumas yang berasal dari Haiti. Bagi penggemar Napoleon mungkin sebaiknya tidak menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap film ini, tonton saja sebagai suatu interpretasi Ridley Scott mengenai salah satu Jendral dan Kaisar Prancis yang masih menjadi inspirasi hingga saat ini.
TV & Movies
Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling klasik

www.gwigwi.com – Shakespeare, Jane Austen, Louisa May Alcott dan sekarang 3 Musketeers nya Alexandre Dumas. Tampaknya karya-karya klasik para penulis legenda itu tak akan pernah berhenti diadaptasi. Nah, tergantung pada filmmakernya, bisakah memberikan corak baru saat menggubahnya?

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
THE THREE MUSKETEERS: D’ARTAGNAN (2023) berkisah tentang D’artagnan (François Civil) yang ingin bergabung menjadi anggota Musketeer-nya Raja Perancis. Ia kemudian harus memghadapi konspirasi yang ingin menggulingkan kepemimpinan kerajaannya bersama 3 Muskeeter; Athos (Vincent Cassel), Porthos (Pio Marmaï) dan Aramis (Romain Duris).
Paling mencolok adalah bergantinya tipikal ksatria berbaju bersih klimis perlente seperti serial drama periode Downton Abbey (2010), dengan jubah Musketeer yang terlihat usang, kotor diterpa debu yang justru membuat pemakainya terlihat sebagai ksatria gagah kaya pengalaman yang tangguh. Bukan cosplayer event Renaisans.

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
Aksi dibuat lebih kasar hampir ala baku hantam preman dan dishoot dengan hand held mengikuti kibasan pedang walau agak shaky. Semua untuk membuat aksi lebih realis bak di Trilogi film Bourne. Pengadeganan ini menambah tensi koreografi yang sudah menarik.
Cerita pun mudah diikuti meskipun penonton tak kenal novelnya. Dengan alur cepat, penuh tensi penonton mengikuti D’artagnan yang berpapasan dengan 3 Musketeer satu per satu dalam adegan yang lucu, berwarna kepribadian para karakternya dan berenergi.

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
Ya film ini memang menampilkan aksi lebih gritty namun film tak lantas kelam muram durja. Para musketeer kuat, berkarisma dan full of life, membuat mereka mudah disukai seperti kebanyakan superhero Marvel.
THE THREE MUSKETEERS: D’ARTAGNAN (2023) adalah swashbuckling flick seru yang mengingatkan pada film seperti THE MASK OF ZORRO (1998). Genre petualangan mendebarkan yang Hollywood bantu populerkan tapi seolah lupa bagaimana meramunya lagi (uhukUncharteduhuk).
-
Gaming4 weeks ago
Pihak Bandai Namco Merilis DLC Tales of Aria Yang Berjudul “Beyond the Dawn”
-
Daftar Anime2 weeks ago
Daftar Anime Musim Gugur 2023 yang Tayang di IQiyi
-
Gaming3 weeks ago
Atlus Memberikan Video Singkat Terkait Karakter Aigis Dengan Tampilan Yang Sangat Memukau
-
News3 weeks ago
Seri Light Novel Rokudenashi Majutsu Koushi to Akashic Records Tamat Pada Volume 24
-
News3 weeks ago
Para Penggemar Kpop Menyerang Beberapa Member Boyband Karena Telah Menonton Anime “Made In Abyss”
-
News3 weeks ago
Warganet Berdebat Tentang Genre Fantasy Merupakan “Native Isekai”
-
Berita Anime & Manga2 weeks ago
Anime Festival Asia Singapore 2023 Dimulai 24 November
-
TV & Movies2 weeks ago
Review Film Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam