TV & Movies
Review Film Retribution, tipikal film Liam Nesson tapi kali ini gak biasa

www.gwigwi.com – Matt Turner (Liam Nesson), seorang bankir Amerika yang bertugas di Berlin. Saat mengantar anaknya Zach (Jack Champion) dan Heather (Embeth Davidtz) ke sekolah, Matt ditelepon orang asing yang memberi tahu bahwa dia duduk di atas bom yang akan meledak jika ia berhenti, mencoba keluar, atau tidak mematuhi instruksi sang penelepon misterius.
Di sepanjang perjalanan, Matt bertanya-tanya siapa sosok yang mengancam dirinya itu? Apa yang dilakukannya sehingga membuat orang mau membunuh dirinya dan keluarganya?
Review Film Retribution, Tipikal Film Liam Nesson Tapi Kali Ini Gak Biasa
Disini mulai terungkap satu per satu seiring cerita berjalan tentang latar belakang Matt. Masalah lain juga muncul ketika istrinya, Emily (Lilly Aspell) berupaya untuk menceraikannya karena sikap Matt yang terlalu workaholic.
Langsung ke filmnya, kayaknya ini tipikal film Liam Nesson seperti yang sudah-sudah. Semenjak Taken, Liam Neeson dikenal sebagai salah satu aktor laga kawakan yang biasanya memiliki karakter dan latar belakang yang hampir sama di film-film berikutnya. Tampak seperti pria biasa-biasa saja, karakter yang dibawakan lalu sekonyong-konyong menjema menjadi seseorang dengan kemampuan luar biasa.
Namun untuk film ini nggak, ia memiliki pekerjaan sebagai bankir yang bertugas untuk mengundang calon investor untuk berinvestasi yang terlihat hidupnya sempurna.
Review Film Retribution, Tipikal Film Liam Nesson Tapi Kali Ini Gak Biasa
Perannya sebagai Matt Turner yang mahir merayu orang untuk berinvestasi, rupanya dirinya bukan sosok ayah yang baik untuk keluarganya.
Rasa bersalah ini pula yang berusaha ditunjukkan kepada penonton, sembari memperlihatkan sisi emosional sang karakter Matt. Ia juga dianggap sebagai dalang dari rangkaian bom mobil yang menewaskan beberapa rekan kerjanya, yang membuat dirinya menjadi buruan Europol yang dipimpin agen Angela (diperankan oleh Noma Dumezweni).
Film Retribution menjadi kolaborasi ketiga antara Neeson dan produser Andrew Rona dan Alex Heineman, setelah Non-Stop (2014) dan The Commuter (2018). Jaume Collet-Serra, yang menjadi sutradara dalam dua film tersebut, serta film yang juga dibintangi Nesson, Unknown (2011) dan Run All Night (2014) juga berada di kursi produser.
Tak heran apabila film ini memang seperti dibuat untuk Neeson dan menunjang sosok andalannya.
Review Film Retribution, Tipikal Film Liam Nesson Tapi Kali Ini Gak Biasa
FYI, film ini adalah remake ketiga dari film Spanyol El desconocido (2015). Dua film sebelumnya ialah film Jerman, Steig. Nicht. Aus! (2018), dan film Korea Hard Hit (2021).
Buat gue apa yang membuat film ini menarik adalah perubahan karakter yang dibawakan oleh Liam Nesson. Dia tidak lagi memerankan pria tangguh yang memiliki masa lalu kekerasan, kali ini ia menjadi pria yang tak disukai keluarganya, dan kini berjuang untuk melindungi keluarga yang dia cintai.
Menurut gue Liam Nesson berhasil membawakan karakter ini dengan sangat meyakinkan, membuat kita merasakan ketegangan yang sama dan rasa takut yang dia alami.
Film yang digarap oleh Nimrod Antal Ini membuat film ini layaknya film aksi Hollywood.
Salah satu momen epik nya adalah ketika di dalam terowongan adalah salah satu momen paling mendebarkan dalam film ini. Bayangkan ketika ponselnya dalam kondisi “no signal” membuat komunikasi terputus sehingga bom di mobil tersebut bisa meledak kapan saja. Beuhh rasanya kayak udah diujung tanduk itu.
Retribution juga menyajikan twist yang membuat sosok antagonis penelepon misterius berbeda dengan film aslinya atau adaptasi sebelumnya.
Namun sangat disayangkan, plot yang sederhana dengan jumlah karakter terbatas membuat beberapa aspek cerita menjadi mudah ditebak. Endingnya pun juga yaudah beres begitu saja.
At the end, jujur buat gue ada kepuasan tersendiri melihat aksi Liam Nesson lewat film-filmnya. Namun kali ini gak biasa karena ada sesuatu yang segar dan sajian yang dimunculkan mengingatkan gue akan Speed yang rilis di tahun 1994.
TV & Movies
Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling klasik

www.gwigwi.com – Shakespeare, Jane Austen, Louisa May Alcott dan sekarang 3 Musketeers nya Alexandre Dumas. Tampaknya karya-karya klasik para penulis legenda itu tak akan pernah berhenti diadaptasi. Nah, tergantung pada filmmakernya, bisakah memberikan corak baru saat menggubahnya?

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
THE THREE MUSKETEERS: D’ARTAGNAN (2023) berkisah tentang D’artagnan (François Civil) yang ingin bergabung menjadi anggota Musketeer-nya Raja Perancis. Ia kemudian harus memghadapi konspirasi yang ingin menggulingkan kepemimpinan kerajaannya bersama 3 Muskeeter; Athos (Vincent Cassel), Porthos (Pio Marmaï) dan Aramis (Romain Duris).
Paling mencolok adalah bergantinya tipikal ksatria berbaju bersih klimis perlente seperti serial drama periode Downton Abbey (2010), dengan jubah Musketeer yang terlihat usang, kotor diterpa debu yang justru membuat pemakainya terlihat sebagai ksatria gagah kaya pengalaman yang tangguh. Bukan cosplayer event Renaisans.

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
Aksi dibuat lebih kasar hampir ala baku hantam preman dan dishoot dengan hand held mengikuti kibasan pedang walau agak shaky. Semua untuk membuat aksi lebih realis bak di Trilogi film Bourne. Pengadeganan ini menambah tensi koreografi yang sudah menarik.
Cerita pun mudah diikuti meskipun penonton tak kenal novelnya. Dengan alur cepat, penuh tensi penonton mengikuti D’artagnan yang berpapasan dengan 3 Musketeer satu per satu dalam adegan yang lucu, berwarna kepribadian para karakternya dan berenergi.

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik

Review Film The Three Musketeers: D’artagnan, Swashbuckling Klasik
Ya film ini memang menampilkan aksi lebih gritty namun film tak lantas kelam muram durja. Para musketeer kuat, berkarisma dan full of life, membuat mereka mudah disukai seperti kebanyakan superhero Marvel.
THE THREE MUSKETEERS: D’ARTAGNAN (2023) adalah swashbuckling flick seru yang mengingatkan pada film seperti THE MASK OF ZORRO (1998). Genre petualangan mendebarkan yang Hollywood bantu populerkan tapi seolah lupa bagaimana meramunya lagi (uhukUncharteduhuk).
TV & Movies
Review Film Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam

www.gwigwi.com –

Review Film: Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam

Review Film: Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam

Review Film: Thanksgiving, Perayaan Untuk Balas Dendam
Box Office
Review Film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes, Prekuel yang Perih

www.gwigwi.com – The Hunger Games. Barangkali tak sedikit yang lupa kalau film adaptasi novel karya Suzanne Collins berjudul sama pada tahun 2012 ini menggagas demam kisah Distopia Remaja ke Hollywood; Divergent, Maze Runner, etc.
Seakan berharap franchise ini masih ada gasnya, Lionsgate mengadaptasi buku The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes yang menceritakan masa muda si antagonis Presiden Snow.
Paska perang antara Capitol dan pemberontak yang disebut The Dark Days, Coriolanus Snow (Tom Blyth) hidup miskin dengan neneknya (Fionnula Flanagan) dan sepupunya Tigris Snow (Hunter Schafer). Di depan teman-teman kuliahnya yang kaya, dia berlagak setara. Tidak ngambil makanan gratis padahal kelaparan.
Coryo berharap mendapat penghargaan saat Reaping karena kerajinannya di universitas. Dia malah ditugaskan pencetus Hunger Games Casca Highbottom (Peter Dinklage) untuk menjadi mentor gadis nyentrik dari distrik 12 bernama Lucy Gray Bird (Rachel Zegler) untuk Hunger Games ke 10.

Review Film The Hunger Games: The Ballad Of Songbirds And Snakes, Prekuel Yang Perih
Coryo juga berhubungan dengan Gamemaker Dr. Volumtia Gaul (Viola Davis) yang mengajarkannya esensi Hunger Games dan mengarahkannya menjadi sosok yang dikenal fans di trilogi mbak Katniss Everdeen.
Rasa percaya diri yang besar bisa dirasakan dari film bergenre political thriller romance ini. Total mengedepankan kekejaman yang membuat perih baik di dalam maupun di luar arena. Intrik, senyum palsu, kebohongan, kekejaman mengadu anak-anak untuk saling bunuh dan pengkhianatan. Konsekuensi pada batin dari semua peristiwa itu dan keputusan yang diambil setelahnya. Sebuah film kelam yang cukup berani dan seakan melawan pasar audiens film mainstream umumnya.
Oleh karena hal itu juga THE HUNGER GAMES:THE BALLADS OF SONGBIRDS AND SNAKES menjadi unik dan mampu frontal memberikan pesannya.
Coryo terlihat sebagai orang biasa yang ingin mengangkat derajatnya dengan cara yang dianggap lurus tapi tak ragu bermain di sistem yang kejam. Seolah yang penting tujuannya tercapai, tapi Tom Blyth tak membuatnya sosok yang nihil emosi. Dari tatapannya dia mampu memancing iba yang membuat penonton peduli padanya sepanjang film. Namun sekaligus meyakinkan saat akhirnya membuat pilihan menyayat hati.
Lucy Gray Bird seperti peserta American Idol yang terjebak Hunger Games. Dia berani pada Capitol, mengerti yang harus dilakukan untuk bertahan dan ketika menyanyi memiliki pesona mudah disukai layaknya bintang.

Review Film The Hunger Games: The Ballad Of Songbirds And Snakes, Prekuel Yang Perih
Hubungan Coryo dan Lucy Gray ini beda dari Katniss dan Peeta. Karena keduanya memiliki moral yang lebih fleksibel, tak selurus duo trilogi sebelumnya. Hal ini membuat dinamika cerita menjadi lebih menarik dan tematik dengan dunia permainan Hunger Games; Apakah benar kepentingan mereka searah? Seberapa kuat dasar hubungan mereka untuk mereka saling percaya?
Coryo tidak membenci para peserta distrik lain tapi juga tidak terlihat total menyetujui Hunger Games. Dia hanya ingin ke “atas.” Maka agak aneh saat dia membela sistem battle royale itu dan bentrok dengan temannya Sejanus (Josh Andres Rivera) yang ingin melakukan perubahan. Begitu pun Lucy Gray yang sepertinya butuh pembangunan lebih banyak supaya aksinya di klimaks lebih bisa diterima.
Untungnya penyutradaraan Francis Lawrence dan akting para pemainnya tetap konsisten meyakinkan dalam membawakannya. Konflik batin, verbal dan fisik Hunger Games yang menegangkan tersaji oleh para filmmaker yang tampak sudah paham betul apa key selling point franchise ini dan bagaimana meramunya.
Pembuka diperlihatkan gedung-gedung Capitol yang hancur saat perang di mana Coryo dan Tigris kecil mencoba bertahan di sana. Pemandangan yang kini sedihnya familiar berseliweran di sosmed.
Kebetulan atau takdir yang luar biasa soal relevansi film ini dengan keadaan sekarang. Pilihannya pada penonton atau pelaku; Apakah bermain dengan sistem yang jahat karena seakan itulah dunia atau mencoba berontak sebisa mungkin seperti Katniss dan kawan-kawan. Coriolanus Snow akhirnya membuat pilihannya dan meski akhirnya sampai ke tujuan, bayarannya secara personal sangat mahal.
-
News3 weeks ago
Anime Movie Natsu e no Tunnel Sayonara no Deguchi Akan Tayang di Bioskop Indonesia Mulai Tanggal 15 November 2023 Nanti
-
Tech & life3 weeks ago
Review Logitech G705, Gaming Mouse Mungil Tapi Asik Diajak Main!
-
News3 weeks ago
Pihak Hololive Akan Membuka Pop-Up Store di Tokyo Station Untuk Menyambut Para Turis Asing
-
Smartphone3 weeks ago
POCO C65 Telah Hadir di Pasar Global
-
Box Office3 weeks ago
Review Film THE MARVELS, Cahaya Harapan Baru MCU
-
Gaming3 weeks ago
Pihak Bandai Namco Merilis DLC Tales of Aria Yang Berjudul “Beyond the Dawn”
-
Smartphone3 weeks ago
Samsung Galaxy M34 5G Gak Ada Matinya, Hadirkan Baterai 6.000mAh dan Kamera Anti-Blur
-
Gaming4 weeks ago
Little Nightmare III Memperlihatkan Para Pemain Bisa Melakukan Cop-Op Party