Connect with us

TV & Movies

Review Film Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

Published

on

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

www.gwigwi.com – Kesuksesan THE LION KING versi “live action” alias CG gaya rada realis tentu disambut Disney yang ingin melanjutkan auman menggelegar singa-singa prideland tersebut.

Maka muncullah MUFASA. Kisah tentang bagaimana bapaknya Simba (Donald Glover), yang dahulu disuarakan mendiang James Ear Jones, menjadi Lion King….

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

Anak Simba, Kiara (Blue Ivy Carter), merasa takut akan badai sembari menunggu kepulangan orang tuanya. Ditemani Pumbaa (Seth Rogen) dan Timon (Billy Eichner), mereka berteduh di dalam gua. Untuk menghiburnya si anak singa kecil ketakutan, Rafiki (John Kani) menceritakan kisah anak singa terlantar yang nantinya menjadi raja…

MUFASA sebenarnya memiliki naratif yang lumayan menyentuh dan cukup pantas menjadi kisah awal mula Mufasa. Bukan asal prequel. Persaudaraannya dengan Taka (Kelvin Harrison Jr.) yang nantinya berakhir pahit. Persahabatannya dengan Rafiki, Zazu (Preston Nyman) dan Sarabi (Tiffany Boone) yang asik dinikmati dan gonjang-ganjing antara kemampuan alamiah hebatnya yang membuatnya layak menjadi pemimpin tapi hatinya belum juga berkenan.

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

Konfliknya sungguh memiliki momen-momen dramatis yang kuat namun untuk komedi dan momen hangat, rasanya banyak yang flat. Mengapa begitu? Hmm, bisa jadi karena animasinya.

Gaya realis ini pas untuk momen tegang dan berat, tetapi akibat ekspresi para binatang yang nanggung antara mau realis atau ekspresif, komedi banyak meleset. Korban paling fatal mungkin Pumbaa. Joke yang dia lempar terhambat wajahnya yang kelewat realis detail, yang bisa jadi membuat penonton bingung bereaksi; barusan bercanda atau bukan?

Kurang ekspresif baik dari wajah atau animasi karakter dan banyak sekali dialog sekaligus tema yang cukup berat, MUFASA terkesan kurang dekat untuk anak-anak. Justru penonton dewasa bisa lebih mengapresiasi kisah raja muda ini.

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

Review Mufasa: The Lion King, Awal Mula Raja Singa

MUFASA adalah tambahan dari list panjang usaha, well “menarik” Disney memperpanjang nyawa tiap film klasiknya yang tahun depan dilanjutkan dengan SNOW WHITE dan LILO&STITCH. Sejauh ini, usaha itu (termasuk MUFASA) terbilang inferior dibanding film-film kartun legendarisnya. Yaah, selama orang masih nonton, they will keep roaring on….

Advertisement

TV & Movies

Review Film The Bayou, Film Buaya Yang Apa Adanya

Published

on

By

Review Film The Bayou, Film Buaya Yang Apa Adanya

www.gwigwi.com – Kyle, mahasiswi biologi yang baru saja kehilangan kakak tercintanya berencana menyebar abu kakaknya di Florida. Ia beserta 3 temannya menaiki pesawat kecil agar cepat sampai di tujuan namun naas pesawat mereka jatuh di rawa-rawa daerah Louisiana.

Beberapa penumpang lain ada yang meninggal sedangkan Kyle beserta korban selamat lainnya berkumpul di tepian rawa.

Ternyata co pilot pesawat masih hidup dan mengapung di tengah tengah rawa namuntak disangka sang co pilot dilahap oleh seekor buaya. Para penyintas pun segera pergi meninggalkan tempat itu.

Namun para buaya masih saja menguntit mereka; satu persatu penyintas jadi korban keganasan para buaya. Mereka harus mencari alat komunikasi agar dapat menghubungi pihak otoritas dan dievakuasi dari daerah antah berantah tersebut.

Review Film The Bayou, Film Buaya Yang Apa Adanya

Review Film The Bayou, Film Buaya Yang Apa Adanya

Plot cerita standard yang mengandalkan beberapa jump scare dan akting yang biasa banget membuat film ini amat membosankan dan penuh pertanyaan tentang plot yang disajikan.

Tokoh Kyle digambarkan sebagai cewe pemimpin yang dapat diandalkan namun akting aktrisnya, Athena Strates kurang meyakinkan.

Kemudian sosok buaya legendaris yang bernama Christina yang digambarkan oleh warga lokal sebagai buaya alpha dan amat ganas.

Namun selain adegan pertarungan terakhir; Christina tidak kelihatan jelas muncul meneror para penyintas. Jadi buat apa bikin legenda tentang Christina kalau tidak dimanfaatkan sepanjang film?

Overall, film ini hanya cocok bagi gwiple yang benar-benar iseng mencari hiburan film buaya dan tidak lupa untuk bersenang-senang di bioskop dengan film ini.

 

Continue Reading

TV & Movies

Review Film NOSFERATU, Teror vampi horor gothic klasik

Published

on

Review Film Nosferatu, Teror Vampi Horor Gothic Klasik

www.gwigwi.com – Di salah satu episode Spongebob Squarepants tentang pembunuh bernama Hand Slinging Slasher terdapat twist di akhir. Ternyata yang terus mematikan lampu restoran adalah si vampir, Count Orlock dari film horror NOSFERATU (1922).

Adegan konyol itulah yang mungkin kembalinya awareness soal Nosferatu ke ranah pop modern. Sutradara Robert Eggers tahu akan hal itu dan mengapresiasi episode tersebut. Kenapa? Karena akan menambah audiens untuk remake film legendaris yang dia sutradarai yakni NOSFERATU (2024).

Review Film Nosferatu Teror Vampi Horor Gothic Klasik

Review Film Nosferatu Teror Vampi Horor Gothic Klasik

Thomas (Nicholas Hault) pergi ke pelosok eropa untuk menyelesaikan kontrak dengan seorang Count di sana yang akan membantu kehidupan dia dan istrinya, Ellen (Lily-Rose Depp) yang memiliki kelainan dalam dirinya.

Siapa sangka sosok yang akan ditemui Thomas adalah monster dari segala malapetaka yang akan menimpa istrinya dan dunia. Count Orlok (Bill Skarsgard) membuka pintu kastil tuanya untuk Thomas….

NOSFERATU sukses memodernkan visual ala horror hitam putih klasik. Satu shot yang memperlihatkan kastil Count Orlok dari jauh, rasanya seperti perwujudan mimpi fans film horror Universal Monster yang memuaskan. Banyak lagi visual-visual cue demikian sepanjang durasi yang sukses membuat film horror gothic ini memanjakan mata dan menggelitik fans berat horror.

Review Film Nosferatu, Teror Vampi Horor Gothic Klasik

Review Film Nosferatu, Teror Vampi Horor Gothic Klasik

Count Orlok adalah sosok vampir yang penuh nafsu. Suara nafas beratnya seolah nafsu besarnya yang hampir tak bisa ia kontrol. Seperti geraman binatang buas kelaparan. Intelegensinya pun hanya samaran untuk membantu haus darahnya.

Sosok berkumisnya ini yang mungkin…kontroversial. Sedaripada sosok super seram Count Orlok versi 1922, Eggers sepertinya ingin versinya lebih manusia dan sesuai dengan bagaimana wujud bangsawan di kala itu. Hasilnya mungkin bukan monster penggebrak dunia horror yang bisa jadi diharapkan banyak fans, tapi untuk naratif film, cukup menyampaikan tugasnya.

Performa berkomitmen dari cast, khususnya Ellen nya Lily Rose-Depp yang menjadi pillar emosi film, tapi favorit saya adalah Von Brauf. Willem Dafoe memainkannya sebagai sosok pemburu monster klasik yang terus memberi tahu cara melawan Nosferatu dengan penuh hasrat. Terlihat sekali kalau beliau menikmati peran ini.

NOSFERATU baik secara visual dan performa itu solid, namun tak bisa diyana kalau ingin sekali melihat Eggers membawa dua kekuatan utama penyutradaraannya ini untuk cerita yang lebih segar, bukan adaptasi cerita yang sudah sangat sering diangkat ini.

Polesan Eggers membuat terpukau. Apalagi di paruh ketiga di mana semua teror gas menimpa para karakter dan kota. Suguhan nikmat bagi yang kangen teror gothic monster klasik, namun sulit juga mengusir rasa been here done that dari adaptasi kisah Dracula dari Bram Stoker ini.

Semoga film manusia serigala versinya nanti akan lebih fresh lagi.

 

Continue Reading

TV & Movies

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis lagi dan lagi dan lagi…

Published

on

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

www.gwigwi.com – Sinemaku Pictures kembali dengan drama penuh air mata…Menariknya PH ini selang seling menelurkan karya horor dan drama menyentuh saja sejauh ini. Semoga bisa lebih variatif ke depannya.

Drama kali ini berjudul PERAYAAN MATI RASA yang dibintangi si Dilan, Iqbaal Ramadhan. Tentu disambut buanyak fansnya saat si aktor muda berjalan di karpet merah. Menariknya Iqbaal terlihat tidak mau larut dalam popularitas ini dan lebih senang bisa berakting lagi setelah 3 tahun.

Ian (Iqbaal) ingin sukses dalam karirnya ngeband bersama teman-temannya. Akibatnya dia menyampingkan waktunya dengan keluarga. Baik adiknya, Uta, (Umay Shahab) si streamer sukses dan Ibunya (Unique Priscilla) ingin si anak tertua lebih bisa hadir di rumah daripada di panggung.

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Si bapak lah, si pelaut Satya (Dwi Sasono) yang terus berpikiran positif soal pilihan karir Ian, tetapi justru anak tertuanya yang tidak senang si ayah karena kerap pergi lama dari rumah. Sekalinya pulang, menasihati Ian harus ABCD, membuat si anak muak dan menjaga jarak dengan bapaknya.

Si anak memiliki abandonment issue lantas menjauh dari keluarga. Meneruskan “luka” ditinggalkan ini yang masalah generasional.

Sampai suatu hari suatu kejadian naas menimpa yang membuatnya..mati rasa…tetapi keluarganya membutuhkannya…

PERAYAAN MATI RASA memiliki eksekusi yang sungguh cukup paten. Baik secara directing, editing dan akting. Semua engaging dan enak sekali “ngalirnya” dari adegan ke adegan.

Selalu dijaga daya tarik naratifnya untuk penasaran apa yang akan terjadi berikutnya pada Ian dan keluarga. Apalagi akting Dwi Sasono yang menjadi pondasi emosional keseluruhan film. Meski tak banyak porsi, beliau membekas sekali pengaruhnya sepanjang film.

Begitu pun Iqbaal yang sekali lagi pesona protagonisnya memancar. Apa pun yang dia coba deliver, hampir semuanya konek ke audiens. Apakah itu saat dia marah, sedih atau pun lemah. Sayangnya PERAYAAN MATI RASA kurang kuat di cerita lantaran penuh dengan klise yang sulit ditolong eksekusinya.

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Review Film Perayaan Mati Rasa, Menangis Lagi Dan Lagi Dan Lagi…

Durasi yang cukup panjang rasanya tidak perlu untuk cerita yang alurnya mudah ditebak. Rasanya penonton hanya menunggu untuk sesuatu yang pasti terjadi hanya tinggal tunggu waktu. Tanda cerita kurang punya kejutan hingga rasa jemu datang.

Paruh akhir film menjadi sangat mendayu dayu. Sampai 4 kali ada adegan pengungkapan atau curhat sampai menangis. Sepertinya bisa lebih tidak terasa repetitif dan dipilah lagi mana adegan yang lebih menghujam dan kuatkan di situ.

Padahal sebelumnya Sinemaku Pictures cukup berhasil menyampaikan kepedihan dalam bentuk yang lebih halus dan efektif di BOLEHKAH SEKALI SAJA KUMENANGIS.

Bohong rasanya bila tidak ada adegan sungguh menyentuh atau lucu yang rada menyegarkan, tetapi semoga karya Sinemaku Pictures berikutnya lebih memiliki cerita lebih solid untuk mendukung eksekusi yang semakin berkembang.

 

Continue Reading

Interview on GwiGwi

Join Us

Subscribe GwiGwi on Youtube

Trending