Connect with us

TV & Movies

Film Live-Action “Wotakoi” Memenangkan Penghargaan di Fantasia International Film Festival

Published

on

GwiGwi.com – Fantasia International Film Festival Montreal ke-24 menganugerahi Penghargaan Sandro Forte untuk Skor Film Terbaik kepada Shiro Sagisu untuk film live-action yang diadaptasi dari manga milik Fujita berjudul Wotakoi: Love is Hard for Otaku pada hari Kamis.

Film ini ditayangkan perdana di Amerika Utara pada festival film virtual, yang disiarkan dari 20 Agustus hingga 2 September Festival Film Internasional Fantasia menjelaskan filmnya:

Narumi memulai pekerjaan baru dan melakukan semua yang dia bisa untuk menyembunyikan fakta bahwa dia adalah seorang otaku, tapi salah satu rekan barunya adalah teman masa kecil yang tahu semua tentang minatnya pada manga dan anime. Berkat chemistry yang luar biasa di antara keduanya Mitsuki Takahata dan Kento Yamazaki, kreativitas unik penulis / sutradara Yūichi Fukuda, dan musik dari J-pop ke jazz, Wotakoi: Love is Hard for Otaku adalah pelibatan sempurna ke dalam dunia budaya otaku yang menakjubkan.

Film ini ditayangkan perdana di Jepang pada 7 Februari dan debut di #1 pada akhir pekan pembukaannya.

Mitsuki Takahata dan Kento Yamazaki masing-masing membintangi film sebagai Narumi dan Hirotaka. Nanao ikut membintangi film tersebut sebagai Hanako Koyanagi, sementara Takumi Saitou memainkan Tarō Kabakura. Yūichi Fukuda menyutradarai film tersebut. Film ini awalnya dijadwalkan untuk dibuka pada 2019, tetapi ditunda hingga 2020.

Selain itu, Fantasia International Film Festival menyelenggarakan pemutaran perdana film live-action di Kanada dari adaptasi manga oleh penulis Homura Kawamoto dan artis Tōru Naomura yang berjudul Kakegurui – Compulsive Gambler . Festival ini juga menayangkan adaptasi film live-action dari manga karangan Osamu Tezuka berjudul Barbara.

Sumber: ANN

Advertisement

TV & Movies

Review Film Joker: Folie a Deux, that’s all folks!

Published

on

By

Review Film Joker: Folie A Deux, That’s All Folks!

www.gwigwi.com – Pasca insiden di film pertama, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) menghabiskan waktu sehari-hari di Arkham Asylum.

Ia pun tersiksa dan tertindas karena setiap hari karena dipaksa untuk melempar lelucon kepada sipir penjara sembari menunggu proses hukum terhadap dirinya.

Ia pun bertemu Harleen Quinzell, yang mendewakan sosok Joker dan juga memperkenalkan musik sebagai coping mechanism atas apa yang diderita oleh Arthur.

Review Film Joker: Folie A Deux, That’s All Folks!

Review Film Joker: Folie A Deux, That’s All Folks!

Jujurly, menurut gue gak semua film yang sukses secara kualitas maupun komersial harus ada sekuelnya dan jika “dipaksakan” akan aneh jadinya. Mungkin hal tersebut berlaku juga di film ini.

Namun layaknya sebuah sekuel, gue suka dengan kompleksitas karakter Joker yang merupakan sebab akibat dari film pertamanya yang makin karismatik yang dimana ia mampu mengendalikan massa dan sosok Harley Quinn.

Ada sesuatu yang baru di film ini yaitu elemen musikal yang dieksekusi malu-malu kucing maksud hati ingin terkesan stylish, namun di sisi lain ingin tetap menjadi crime dan psychological drama.

Namun output dari film ini memiliki hasil yang kurang seimbang transisi antara kedua elemen ini pun gak berjalan smooth.

Review Film Joker: Folie A Deux, That’s All Folks!

Review Film Joker: Folie A Deux, That’s All Folks!

Performa Lady Gaga pun disini terkesan seperti potensi yang di sia-siakan. There’s no room for her untuk menunjukkan kualitas bermusik dan berakting. Padahal Gaga punya track record yang cukup oke ketika ia bermain film.

Lain halnya dengan Joaquin Phoenix yang asik aja dan mampu bergonta-ganti persona sebagai Arthur Fleck dan Joker semudah membalikkan telapak tangan di sepanjang film.

Di film ini juga dinamika “asmara” antara Joker dan Harley disini sangat eye catchy untuk diikuti dan dikemas dengan lagu-lagu lawas nan asik bikin kita SING-a-long di sepanjang film.

Akhir kata, Joker: Foile a Deux merupakan sajian film yang dicukupkan saja di film pertama. Kalau tetap membuat formula crime dan drama tanpa elemen musikal gue rasa akan lebih mudah diterima oleh audiens.

Continue Reading

TV & Movies

Review Film LEMBAYUNG, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Published

on

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

www.gwigwi.com – Arum (Yassamin Jasem) dan Pica (Taskya Namya) menjalani praktek kuliah kedokteran di Rumah Sakit Lembayung. Mereka langsung di tolak Dokter Ringgo (Oka Antara) yang hanya menginginkan anggota medis lelaki. Meski akhirnya tetap bisa praktek, kedua mahasiswi itu mulai merasakan beragam keanehan dan perlahan terkuak rahasia gelap di sana….

LEMBAYUNG sebenarnya mempunyai pesan yang mulia mengenai pelecehan seksual yang kontemporer. Dari karakter Arum sebagai sudut pandang korban di mana dimainkan dengan baik oleh Yasamin, terlihat penderitaan yang sulit terkatakan dan hanya bisa disimpan tapi dianggap normal oleh pelaku seperti karakter Heru (Ence Bagus).

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Scare dan ketegangannya pun boleh juga untuk beberapa momen. Tantri (Anna Jobling) yang menghantui Lembayung mampu tampil creepy dan untuk momen menyentuh dia cukup berhasil.

Sayangnya segala potensi film baik pesan atau akting terasa percuma melihat banyaknya kekurangan LEMBAYUNG.

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Durasi banyak dihabiskan untuk sekedar melihat keseraman saja tanpa arah yang jelas film mau ke mana. Karakter kebanyakan berlaku pasif, seolah sebagai samsak derita saja. Scare pun terlalu lama dan diberikan kejutan yang sepertinya ingin “shock” penonton tapi justru berakhir konyol. Logika yang diterabas asal adegan seram bisa terus berlanjut. Kemudian adegan frontal baik pelecehan dan sadisme yang tidak perlu.

Sutradara perdana Baim Wong sepertinua masih harus banyak belajar mengenai esensi ceritanya, sensitivitas di dalamnya dan bagaimana menyampaikannya. Jawabannya saat press conference begitu ditanya soal hal-hal sensitif dari filmnya, rasanya menunjukkan masih kurangnya koneksi beliau akan temanya sendiri dan definitely leave a lot to be desire.

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

Review Film Lembayung, Teror Sexual Abuse Yang Lemah

LEMBAYUNG barangkali peringatan untuk awareness soal isu patriarki dan soal sexual abuse, tapi kalah oleh lemahnya storytelling dan keinginan besarnya untuk menunjukkan horror yang, maaf, murahan.

Continue Reading

TV & Movies

Review Film NEVER LET GO, Horor ala dongeng kelam

Published

on

Review Film Never Let Go

www.gwigwi.com – Junebug (Halle Berry) dan kedua anaknya; Sam (Anthony B. Jenkins) dan Nolan (Percy Daggs IV) pergi keluar rumahnya di tengah hutan antah berantah untuk pergi mencari makan. Ketiganya mengenakan tali yang terhubung dengan rumah. Mereka berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak melepaskannya. Tali yang mengamankan mereka dari godaan iblis di hutan…

NEVER LET ME GO memilliki premis high concept sederhana yang tampaknya mudah sekali dibuat menjadi horror klise nan mudah ditebak. Menariknya, sedari pada membuatnya film horror biasa, film memiliki nuansa layaknya cerita dongeng yang kelam.

Review Film Never Let Go

Review Film Never Let Go

Mulai dari penggunaan chapter, setting hutan yang seperti kisah Hensel and Gretel dan nuansa mistis supranatural non abrahamic religius yang menyelimuti. Momen terbaiknya adalah saat film berasa seperti kisah folk tale ala amerika bagian selatan. Menjadikan NEVER LET GO berasa unik dan punya identitas sendiri.

June tampak paranoid berlebihan akan iblis di hutan. Samuel mau mempercayainya tapi Nolan mulai meragukan ibunya. Apalagi saat Koda, anjingnya, menjadi taruhan.

Apakah si iblis benar ada atau hanya godaan dari situasi mereka yang penuh putus asa? Film memainkan suspense tersebut dan sebagian besar cukup berhasil hingga membuat NEVER LET GO menjadi pengalaman unik dibanding horror lain.

Review Film Never Let Go

Review Film Never Let Go

Hanya saja begitu sampai pada jawabannya, boleh jadi kurang memuaskan. Agak membuat bingung apa kesimpulan film ini; ingin bicara soal konflik psikologis kah? Selamat dari monster? Atau keduanya?

Rasanya jawaban dari klimaksnya terlalu ingin meraup semua tapi justru berakhir gamang. Tidak dengan pembangunan ketegangannya yang diadegankan dengan efektif dan diakhiri dengan scare yang menghantam.

NEVER LET GO barangkali eksperimen menarik dari tipikal premis high concept yang biasanya ambil jalur aman saja. Film ini mau melangkah lebih jauh di luar zona aman dan serius menghadirkan sesuatu yang berbeda.

Continue Reading

Interview on GwiGwi

Join Us

Subscribe GwiGwi on Youtube

Trending